Jakarta (ANTARA) - Sebagian kalangan muslim beberapa dekade belakangan sering mengalami kesenjangan pemahamaan dan pemaknaan, terutama terhadap laku eksoterik, yakni dimensi lahiriah ritual berbanding esoteris atau dimensi praktik batiniah personal, perjalanan sakralitas ambang bawah sadar.

Sejatinya, jika kita menoleh sejarah dunia dan Islam, dimensi eksoterik dan esoterik tak bisa direnggang tak pula bisa diputus. Dua pemaknaan dimensi ini sejalan: bak air dan ikan.

Tasawuf dalam esoterik, keyakinan yang selalu dikaitkan dalam dimensi batiniah acapkali menampak dalam ekspresi seni, seperti rajah, miniatur patung, visualisasi huruf suci tertentu, kaligrafi, tarian-tarian, juga syair-syair pujian dengan musik dan lain sebagainya.

Selain mantra-mantra, puitisasi asma Allah atau kitab-kitab tafsir yang dekat dengan narasi yang berelasi dengan kekayaan khasanah sastra di nusantara.

Menarik sekali jika seorang pelukis, dosen dan kandidat doktor kajian tassawuf dan seni dari Banjarmasin, yakni Hajriansyah mencoba mempresentasikan makna simbol-simbol esoterik sekaligus eksoteris dengan pameran tunggalnya Oktober ini.

Sebelum membedah lukisan, yang jumlahnya 30-an, dan instalasi bertarikh antara 2009 sampai 2020, kita menengok bagaimana tassawuf dan seni dikenal di Barat.

Pada abad ke-18 Islam menembus jantung peradaban Eropa modern. Spiritualitas Islam diterima dengan terbuka, tak dikungkung kaidah kaku teologi yang meluluhkan hati Johann Wolfgang von Goethe.

Kita tahu, ia adalah pencipta kanon sastra Eropa: Faust. Goethe. Ilmuwan ternama dari Frankfurt, Jerman itu yang di kemudian hari dijadikan ikon negara Jerman sebagai institusi kebudayaannya.

Sejak awal Goethe jatuh cinta pada Islam. Di masa remajanya ia gandrung kisah-kisah mistik, dongeng-dongeng dari Timur, seperti Arab dan Persia, yang tatkala dewasa ia memilih sufisme Islam.

Goethe suntuk mendalami khasanah budaya dan seni Islam, membuatnya terpikat sajak penyair Persia, Hafiz, yang seterusnya membawa ilmuwan Islam lain, filsuf, politikus, dan penyair Muhammad Iqbal dari Pakistan mengenang ketokohan Goethe dengan sangat takzim.

Goethe mengingatkan kita bahwa Al Quran dan Muhammad SAW, dengan ungkapan yang merindu-dendam dibawakan sangat elok di Diwan Barat-Timur (West-Oestlicher Divan). Hampir bisa dipastikan mustahil, jika bukan sang begawan sastra keturunan bangsawan itu yang mampu membawakan indahnya Islam dengan sangat proporsional. Islam yang dianggap liyan di Eropa menjadi kokoh sekaligus anggun di hati sang seniman agung itu.

Pada abad 20 sebagian seniman Barat mempercayai akan energi adi kodrati yang menjadi ilham utama, dalam karya-karya seni yang menghamparkan narasi kehampaan dan kebimbangan hidup menemukan kembali ekspresi seninya dalam ketuhanan.

Warisan Goethe, dengan paras romantisisme adalah penggalian dimensi esoterik paling abstrak; yang personal, yang persentuhannya dengan tassawuf dan puisi-puisinya menular. Sebagai contoh, Henri Matisse sangat terpengaruh miniatur dan seni dekoratif Islam.

Dalam konteks lain, ekspresi seni mengejawantahkan persoalan tak hanya dunia dalam, namun ada energi eksoterik, yakni elemen estetik memunculkan kekuatan transformatif. Spiritualisme tassawuf menjadi wahana utama memproyeksikan reflektif personal menjadi energi transformasi sosial.

Baca juga: Tatkala Puisi-puisi Goethe Mendarat di Ponpes

Baca juga: Penyair Jerman Baca Puisi Goethe di Pesantren


Seni Hajriansyah

Pameran lukisan dan instalasi solo Hajriansyah berjuluk “Suluk” adalah perjalanan kegelisahan batin lewat figur, bentuk, warna, garis dan obyek. Seniman ini mencoba mengeksplorasi ambang bawah sadarnya tentang sebuah ziarah menyusuri palung rasa rohani yang samar-samar mengungkap tentang jalinan keagungan sekaligus kemesteriusan yang terulang kembali sedemikian rupa.

Ia menyusun serpihan-serpihan yang disebutnya kenangan, jalinan kronik yang dilakoni dalam keseharian pun yang terjadi dalam hatinya. Sesekali menguat, sementara banyak yang sirna.

“Guru tarekat saya mengatakan, setiap kata, bahkan huruf, dalam wirid menjelma malaikat yang mengitari kita. Ia menjadi penjaga yang selalu mengingatkan diri, seberang-berseberang dengan setan yang membisiki pula. Manusia punya kemampuan memilih di antara keduanya” ungkap Hajriansyah.

Setiap visualisasi bisa menampak tegas sekaligus menghablur, yang menjadi bentuk-bentuk anonim sekaligus representasional. Bisa diraba identitas perwujudannya secara rill.

Pengakuan Hajriansyah kelak membawanya pada obyek simbolik mistik Islam dalam bingkai kaligrafi, yang memiliki transmisi pemahaman akan hubungannya dengan Tuhan dan dunia luar yang dijalani.

Sementara, munculnya sosok-sosok visual non kaligrafi mewakilkan timbunan memori berlapis, yang membuat eksistensinya muncul. Seperti lukisan berjudul “Lelah Mengejar Engkau”, dengan cat minyak/kanvas, 100x200 cm, 2012. Karya ini semacam picu estetis, dengan sosoknya sendiri dalam lukisannya sebagai lansekap tubuh dan jiwanya, yang tertikam kabut galau; mencoba memahami yang esensial tentang sang Kholiq.

Seperti pencarian-pencarian mengenali sembari menjaga jarak, monolog visual dengan pintu pembuka bahwa ia lelah atau justru sebaliknya: tak pernah lelah mencari Tuhan-nya.

Hal itu memintal pemahaman, terutama tentang aspek visual yang dirajut semacam energi representasional sekaligus yang tidak. Hajriansyah mendekatkan yang paling abstrak sekaligus mendambakan wujud lahiriah ingin dikenali.

Sebagai contoh, dalam karyanya yang lain, ia menarasikan lingkungan yang rusak menghantui Kalimantan Selatan, “Tentang roh penjaga bentang alam Kalsel, lewat simbolik huruf dan obyek atas medium keseharian berupa gerabah di rumah orang Banjar,” ujarmya.

Di sana Hajriansyah langsung merujuk realitas geografis, ada dalam lokasi nyata. Kepeduliannya pada etnik Banjar, Meratus, dan Kalimantan meneguhkan bahwa yang rill itu gumpalan dari irisan personal yang komunal. Hal itu mengintimasi cara ia menjelajahi batin, meraba-raba dimensi esoterik sembari memformulasikan pembelaan dalam dimensi eksoterik nasib orang-orang lokal.

Usai menekuri perjalanan batin Hajriansyah, sebenarnya karya-karyanya mirip sebuah kaca benggala. Cermin menata diri kita bahwa narasi tentang yang sakral selalu memberi kedewasaan hati personal dan lingkungan sekitar. Seni menjadi jalan tengah pendekatan dua dimensi Islam yang acapkali memunculkan kesenjangan pemahaman.

Pameran Hajriansyah mengingatkan kandungan sajak elok Goethe yang dikutip dari West-Oestlicher Divan:

Alangkah pandir menganggap diri istimewa
Mengira keyakinan sendiri benar belaka.
Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri,
Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati.


Baca juga: Karya Van Gogh bisa disaksikan di museum dari dalam mobil

Baca juga: Lukisan Van Gogh dicuri dari museum Belanda yang ditutup karena corona

Baca juga: Raphael ubah bentuk hidungnya dalam potret diri

Copyright © ANTARA 2020