Jakarta (ANTARA) - Delapan bulan sejak kasus COVID-19 pertama kali diumumkan Presiden Joko Widodo, hingga kini belum ada tanda-tanda pasti bahwa virus yang pertama kali diketahui menjangkit di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, tersebut akan segera berakhir.

Setiap hari, tepatnya pukul 12.00 WIB, pemerintah melalui Satgas Penanganan COVID-19 selalu melaporkan perkembangan terbaru kasus pandemi itu di Tanah Air. Terdapat tambahan 1.000, 2.000, bahkan 4.000 lebih jiwa yang terjangkit virus mematikan tersebut dalam kurun waktu 24 jam saja.

Kondisi tersebut tampaknya tidak menjadi hal yang asing lagi, sebab data terbaru angka pasien positif per hari terpampang jelas di halaman resmi Satgas Penanganan COVID-19. Tidak hanya untuk akses pemberitaan sejumlah media massa, situs itu dapat dilihat juga oleh siapapun dengan mudah.

Di sisi lain, pasien COVID-19 yang berhasil pulih juga terus bertambah. Sayangnya, angka tersebut belum sebanding dengan pertambahan pasien baru setiap harinya, termasuk pula angka kematian yang ikut merangkak naik dari hari ke hari.

Alih-alih fokus pada penanganan pencegahan penyebaran COVID-19 yang semakin meluas, pada hakikatnya di tengah pandemi ini Ibu Pertiwi malah dihadapkan pula dengan berbagai ancaman bencana alam yang siap menerjang kapan saja.

Bencana itu berupa gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, cuaca ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan hingga ancaman tsunami juga menjadi kekhawatiran yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat.

Bahkan, belakangan masyarakat juga dihebohkan dengan informasi adanya potensi gempa megathrust di selatan Pulau Jawa yang dapat mengakibatkan tsunami dengan ketinggian mencapai 20 meter. Hal itu memunculkan ketakutan bagi siapa saja. Apalagi, potensi tersebut diketahui berdasarkan riset peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Bertepatan dengan rangkaian peringatan bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2020, pemerintah mengajak semua elemen masyarakat untuk menyadari pentingnya membangun ketangguhan di tengah ancaman pandemi virus corona.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo mengatakan di tengah pandemi COVID-19, penyelenggaraan PRB menjadi penting dalam membangun ketangguhan yang harus disandingkan dengan pencegahan COVID-19 itu sendiri.

"Pengurangan risiko ini bukan hanya bencana alam, tetapi juga bencana nonalam," kata Doni.

Masyarakat perlu menyadari selain ancaman COVID-19, sejatinya Indonesia sedang berhadapan pula dengan ancaman bencana alam. Apalagi negara kepulauan ini berada dalam lingkaran cincin api atau ring of fire.

Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ditunjukkan bahwa terdapat potensi akan terjadinya fenomena La Nina di Tanah Air. Prediksi BMKG, curah hujan yang tinggi mulai terjadi pada rentang Oktober 2020 hingga Maret 2021.

Sebagaimana diketahui, tahun lalu, tepatnya September dan Oktober, terjadi kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah yang sangat masif. Akibatnya, sekitar 1,6 juta hektare lahan terbakar habis.

Kebakaran hutan dan lahan tersebut pada umumnya terjadi di Pulau Sumatera, Kalimantan serta beberapa provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Tidak hanya itu, khusus di Pulau Jawa juga terjadi kekeringan hebat. Hal itu mengakibatkan ratusan ribu orang kesulitan mendapatkan air bersih ketika kemarau melanda daerah tersebut.

Doni Monardo mengatakan anomali cuaca tidak hanya terjadi di Tanah Air, namun juga secara global. Sebagai contoh ialah kejadian kebakaran hebat di negeri Paman Sam, beberapa waktu lalu, yang mengakibatkan lebih dari empat juta hektare lahan hangus terbakar. Selain itu, Australia juga mengalami peristiwa yang sama tahun lalu, terutama di Australia Selatan.

"Indonesia ikut memberikan bantuan dengan mengirimkan prajurit TNI dan BNPB," ujar jenderal bintang tiga itu .

Melihat berbagai ancaman dan kejadian bencana alam maupun nonalam yang menimpa berbagai belahan penjuru dunia tersebut, penting untuk mengartikan bahwa tidak satupun negara yang betul-betul siap menghadapinya.

Oleh karena itu, langkah utama dan mendasar yang mesti dilakukan oleh setiap individu ialah terus menjaga ekosistem agar tidak rusak, terutama dalam menghadapi ancaman La Nina yang diperkirakan terjadi dalam waktu dekat.

Selain menjaga ekosistem yang ada, masyarakat terutama para pemangku kepentingan, diminta untuk terus mengikuti perkembangan informasi dari BMKG serta melakukan apel kesiapsiagaan di seluruh wilayah.

Kesiapan tersebut harus dilakukan hingga ke bawah, bahkan di tingkat tapak. Kesiapan itu, mulai dari menyiapkan tempat pengungsian sementara, alat perlengkapan, dapur lapangan, selimut, logistik, keperluan anak-anak dan sebagainya.

Dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi tersebut, Doni meminta masyarakat agar kreatif dan inovatif dalam menyiapkan berbagai alat perlengkapan apabila saat ini tidak memilikinya.

Sebagai contoh, dengan membuat perahu atau rakit dari bambu serta drum sekalipun sebagai alat evakuasi darurat. Sebab, potensi sekecil apapun harus dimaksimalkan dalam situasi genting.
Warga etnis tionghoa melintas di genangan banjir di kawasan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat. (ANTARA/Muhammad Zulfikar)

"Tidak ada rotan akar pun jadi," kata prajurit baret merah yang merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) 1985 tersebut.

Fenomena La Nina yang diprediksi bakal terjadi tentunya harus diantisipasi sejak dini, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah dataran rendah atau daerah yang relatif berada pada kemiringan di atas 30 derajat.

Lokasi perkampungan dengan kondisi tersebut perlu diantisipasi agar tidak memakan korban jiwa apabila terjadi bencana alam, misalnya tanah longsor akibat curah hujan yang tinggi. "Ini harus waspada," ujarnya.

Tidak hanya daerah dengan kemiringan 30 derajat, masyarakat yang masih bermukim di sekitar lahan yang pernah dijadikan kawasan penebangan pohon juga harus melakukan tindak antisipasi saat memasuki periode musim hujan. Sebab, akar bekas pepohonan yang ditebang akan membusuk sehingga tidak dapat menyerap air saat terjadi hujan.

Di samping itu, Presiden juga telah mengingatkan bahwa tidak boleh ada alih fungsi lahan. Kalaupun itu terjadi, maka segera harus ditanami dengan tanaman yang memiliki daya ikat kuat agar tetap bisa menjaga keseimbangan lingkungan, terutama saat musim hujan.

Pada awal 2020, bencana tanah longsor juga pernah terjadi di Kabupaten Lebak, Banten, tepatnya di sekitar kawasan Gunung Halimun Salak, akibat aktivitas pertambangan emas liar atau ilegal mining.

Beragam ancaman bencana alam yang dipaparkan Doni tersebut hendaknya menjadi persiapan pula bagi setiap orang, terutama pemangku kepentingan. Apalagi, kewaspadaan itu dihadapi di tengah kondisi pandemi COVID-19.

Doni menyadari bukan perkara mudah menerapkan prilaku menjaga jarak fisik di tengah ancaman bencana alam yang siap terjadi kapan saja, namun terdapat solusi dalam menangani hal tersebut, termasuk dengan memperbanyak tempat penampungan sementara.

"Termasuk pula bekerja sama dengan sejumlah pihak, misalnya perhotelan atau mungkin rumah penduduk yang bisa disewa oleh pemerintah," katanya.


Ketangguhan daerah

Sesuai tema PRB 2020, yakni "Daerah Punya Aksi", setiap wilayah di Tanah Air diminta agar dapat memberikan kontribusi nyata dalam upaya pencegahan hingga penanganan bencana.

Sejak 1989, PBB menyerukan hari internasional pengurangan risiko bencana sebagai upaya mempromosikan budaya global kesadaran akan risiko pengurangan bencana, termasuk pencegahan dan mitigasi kesiapsiagaan bencana.

Di Indonesia, peringatan bulan PRB sendiri telah diperingati secara rutin sejak 2012, tepatnya setiap 13 Oktober. Hal itu tentunya diharapkan tidak hanya sekadar kegiatan seremonial, apalagi hanya untuk "menghamburkan" anggaran dengan dibalut pemberian sejumlah penghargaan kepada kepala daerah atau instansi tertentu.

Sejatinya hari internasional pengurangan bencana yang diperingati masyarakat seluruh dunia memiliki tujuan bagaimana mengurangi risiko bencana. Di Indonesia, kegiatan yang mulai rutin dilakukan sejak sembilan tahun silam itu dimaknai sebagai upaya membuka dialog dan membangun jejaring antarpemangku kepentingan penanganan bencana serta dijadikan sebagai ajang pengurangan bencana di Indonesia.

Pada awalnya, kegiatan PRB 2020 akan dilangsungkan di Kota Ambon, Provinsi Maluku, namun dengan pertimbangan pandemi COVID-19, kegiatan tersebut dialihkan ke Ibu Kota Jakarta. Sebagaimana tujuan penyelenggaraannya, tiap-tiap daerah diminta berkontribusi untuk mitigasi bencana di wilayah masing-masing.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan pemerintah dan lapisan masyarakat di daerah itu selalu mengedepankan nilai gotong royong dalam menghadapi ancaman bencana alam yang datang.

"Prinsipnya adalah nilai gotong royong yang disampaikan sehingga kita bisa saling memahami apa yang terjadi," kata dia.

Adanya sikap gotong royong yang diterapkan warga serta relasi pemerintahan yang cukup baik dengan BNPB, BMKG dan instansi lainnya membuat masyarakat yakin bisa menghadapi apabila terjadi bencana.

"Itu yang membuat semangat masyarakat tumbuh dan yakin akan dibantu dan mereka juga saling bantu," kata Ganjar Pranowo.

Khusus di daerah itu, setidaknya terdapat lima gunung api aktif. Kemudian Provinsi Jawa Tengah tersebut juga dilintasi beberapa sesar aktif. Pada sisi selatan juga terdapat zona megathrust Jawa dengan segmen Jawa Tengah.

Kondisi tersebut menyebabkan wilayah kabupaten dan kota di Jawa Tengah berada dalam risiko bencana. Berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) pada 2018, provinsi itu memiliki indeks risiko 146,47 (tinggi) atau berada pada urutan ke-17 secara nasional.

Untuk menghadapi ancaman risiko bencana tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah melakukan kerja sama dan koordinasi yang kuat bersama pihak-pihak terkait, mulai dari bupati, wali kota, BPBD, BMKG, Palang Merah Indonesia dan sebagainya.

Bahkan, saat ini pemerintah setempat juga telah mendorong lahirnya desa tangguh bencana yang bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi.

"Kami juga mulai mengajak ibu-ibu hingga anak-anak agar peduli dan bisa paham serta dapat bersikap maupun bertindak bila terjadi bencana," ujarnya.

Adanya sejumlah upaya dan sikap gotong royong yang dilakukan tersebut membawa hal positif dimana indeks risiko bencana di provinsi itu semakin turun sejak 2015 hingga 2018. Tercatat pada 2015 indeks risiko bencana Jawa Tengah yaitu 157,73, kemudian pada 2016 turun menjadi 150,92, selanjutnya 2017 sebesar 149,16 dan 2018 berada pada angka 146,47.

Senada dengan itu, Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy mengatakan daerah itu juga memiliki strategi dalam mencegah dan melakukan mitigasi kebencanaan di daerah yang berjuluk Ambon Manise tersebut.

Pemerintah Kota Ambon, Provinsi Maluku, menggunakan pendekatan kelembagaan dalam menghadapi berbagai ancaman bencana alam maupun nonalam di daerah itu. Kelembagaan dinilai penting karena penanganan bencana harus dimulai dari pendekatan kelembagaan, perencanaan, penganggaran dan penyiapan sumber daya.

"Pendekatan kelembagaan dilakukan oleh Kota Ambon sejak 2012 melalui Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2012," kata dia.

Terkait perencanaan yang telah disusun oleh pemerintah setempat, ia mengatakan telah dibuat sejumlah konsep strategis, di antaranya menetapkan rencana penanggulangan bencana.

Yang kedua, ialah kajian risiko bencana, selanjutnya rencana kontijensi gempa bumi dan tsunami, rencana kontijensi banjir dan tanah longsor serta rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi.

Baca juga: BNPB harapkan bangunan publik miliki ketangguhan bencana

Salah satu relokasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Ambon ialah memindahkan sebuah permukiman ke tempat yang baru akibat bencana alam. Dalam prosesnya, sama sekali tidak ada terjadi resistensi sosial.

"Bahkan ini menjadi percontohan secara nasional," katanya.

Secara umum berdasarkan data informasi bencana Indonesia, 76 persen bencana yang terjadi di Ambon ialah hidrometeorologi, di antaranya gelombang ekstrem, cuaca ekstrem, abrasi, gempa bumi hingga banjir bandang.

Baca juga: Pemprov Maluku dukung program USAID-APIK di tiga kabupaten

Kemudian masih berdasarkan data informasi bencana Indonesia, sejak kurun waktu 1835 hingga 2018 tercatat gelombang ekstrem dan abrasi terjadi sebanyak tujuh persen, cuaca ekstrem dua persen, gempa bumi 24 persen, tanah longsor 39 persen, banjir bandang 13 persen dan banjir 15 persen di kota itu.

Richard Louhenapessy mengatakan keberhasilan suatu daerah dalam penanganan bencana tergantung pada komitmen kepala daerah yang kuat. Sebab, meskipun perencanaan telah disusun dengan sebaik mungkin, tetap saja tidak akan terealisasi apabila kepala daerah tidak komitmen.

Baca juga: KTB picu ketangguhan masyarakat terhadap bencana

"Komitmen ini harus diterapkan, baik sebelum, saat terjadi dan pascabencana," katanya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020