Jayapura (ANTARA) - Pada zaman prasejarah para leluhur sudah menggunakan gerabah/tembikar sebagai alat dapur yang dipakai untuk mengisi makanan dan juga sebagai alat sosial dan religius. Kini, gerabah terancam punah dan sudah tak lagi dikenal di kalangan milenial

Gerabah diperkirakan telah ada sejak masa pra sejarah, tepatnya setelah manusia hidup menetap dan mulai bercocok tanam. Situs-situs arkeologi di Indonesia, telah ditemukan banyak tembikar yang berfungsi sebagai perkakas rumah tangga atau keperluan religius seperti upacara dan penguburan.

Seiring perkembangan teknologi, gerabah terancam punah. Balai Arkeologi Provinsi Papua berupaya melestarikan dengan membuat buku terkait cara pembuatan gerabah tapi juga mengajak siswa praktik membuat gerabah.

Pada Rabu (14/10) pagi, lebih dari 20 siswa dari dua puluh dari SMP dan SMA/SMK di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, belajar membuat gerabah. Sekolah yang diundang yakni SMA Negeri 1 Sentani, SMA Negeri 3 Sentani, SMK YPKP Sentani, SMK Negeri 1 Sentani SMA YPKP Sentani, SMA YPK Sentani, SMA YPPGI Sentani, SMA Negeri 3 Kota Jayapura.

Selanjutnya, SMA Negeri 6 Skouw, Kota Jayapura, SMA Pembangunan V Yapis Kota Jayapura, SMP Negeri 1 Sentani, SMP Negeri 5 Sentani, SMP Negeri 6 Sentani, MTs YPKP Sentani, SMP Negeri 7 Kota Jayapura, SMP Pembangunan V Yapis Kota Jayapura, SMP Negeri 11 Kota Jayapura, SMP Papua Kasih Kota Jayapura, dan SMP Negeri 6 Kota Jayapura.

Pagi itu, tampak masing-masing siswa didampingi guru sejarah, duduk berkelompok di selasar persis di tengah Kantor Balai Arkeologi Papua. Mereka duduk bersila berhadapan dengan adonan tanah liat. Naftali Felle dan Barbalina Ebalkoi, dua maestro pembuat gerabah dari Kampung Abar dihadirkan untuk mengajari siswa.

Berbekal ember berukuran kecil berisi air, papan dan senduk nasi berbahan kayu, para siswa membuat aneka bentuk gerabah, seperti cobeh, pot bunga, hingga berukuran besar. Air dalam ember digunakan untuk membasahi adonan tanah liat, lalu sendok dipakai untuk memukul samping-samping gerabah yang sudah terbentuk.

Naftali Felle dan Barbalina Ebalkoi, mendatangi masing-masing kelompok memeriksa gerabah yang dibuat. Jika tanah liat yang digunakan kurang maka diperbaiki, dirapikan, dan diubah dari awal. Meski demikian, Naftali dan Barbalina dengan sabar membimbing para siswa.

Baca juga: Puluhan siswa di Jayapura ikuti latihan membuat gerabah

Baca juga: Industri gerabah Purwakarta bakal semakin dikembangkan
Naftali Felle mengajari para siswa membuat gerabah pada Rabu (14/10) (ANTARA/Musa Abubar)


Pelestarian gerabah

Ketua Panitia Pelatihan Pembuatan Gerabah Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua mengatakan kegiatan pelatihan membuat gerabah ini sebagai persiapan untuk lomba yang akan diselenggarakan pada 21 Oktober untuk siswa SMP dan 22 Oktober untuk siswa SMA.

Selain itu, pelatihan gerabah ini juga sebagai upaya untuk melestarikan gerabah tradisional Abar Sentani, dengan mengajarkannya ke generasi milenial.

Peserta dalam momentum itu terdiri dari dua orang siswa dan satu guru pendamping. Dalam latihan membuat gerabah ini, diajarkan juga pada peserta untuk menghias gerabah yang dibuat dengan motif tutari. Hal ini merupakan bagian dari Sustainable Development Goals yaitu melestarikan motif tutari dan gerabah tradisional abar.

Ternyata, ketika pembuatan gerabah diajarkan kepada kaum milenial, mereka tertarik, bahkan berkeinginan untuk disebarluaskan. Kirene Gestiandira Santosa, salah satu siswa SMA Negeri 1 Sentani mengaku baru pertama kali mengikuti pelatihan ini, baru pertama kali melihat gerabah dan belajar untuk membuatnya.

"Untuk pembuatan gerabah ini bisa disebarluaskan karena banyak sekali anak-anak atau generasi mudah yang sudah tidak tau sama sekali pembuatan gerabah, cara pembuatannya juga masih manual. Ia berharap cara pembuatannya bisa disebarluaskan lagi ke sekolah-sekolah," katanya.

Kepala Balai Arkeologi Papua, Gusti Made Sudarmika mengemukakan gerabah ini adalah salah satu karya budaya nenek moyang, kalau di Jayapura dan sekitarnya, cara pembuatannya sudah berumur tiga ribu tahun yang lalu sehingga perlu dilestarikan.

"Kita melihat, kondisi sekarang ini sudah tidak dilirik lagi, baik oleh pasar maupun oleh masyarakat, maka dalam kegiatan rumah peradaban Danau Sentani, kita mencoba mengangkat nilai-nilai tinggalan budaya masa lampau, khususnya gerabah," katanya.

Padahal gerabah itu banyak nilai yang dipetik selain nilai ekonomi. Nilai yang mungkin bisa dipahami adalah bagaimana ketekunan dari seseorang, kemudian dibutuhkan lagi sebuah ketenangan, seni karena tanpa seni gerabah tak kelihatan indah.

Tujuan akhir dari pelatihan membuat gerabah ini adalah bagaimana anak didik bisa mengenal, mencintai, dan memahami peninggalan nenek moyang.

Baca juga: Warga Abar pertahankan festival makan papeda dalam gerabah

Baca juga: Listrik pintar dan gerabah Kampung Abar


Diajarkan di sekolah

SMP Negeri 11 Perumnas III Waena, Abepura, Kota Jayapura, mengajarkan cara pembuatan gerabah kepada para siswa. Dalam mata pelajaran prakarya gurunya mempraktikkan cara pembuatan gerabah kepada siswa.

"Dalam mata pelajaran prakarya, guru sudah mempraktikkan kegiatan pembuatan gerabah Abar kepada siswa. Beberapa waktu lalu, kami bekerja sama dengan Balai Arkeologi Papua, dan mereka meminta kami untuk menyosialisasikan atau mempraktikkan ini, ke anak-anak," kata Roberth Hendrik Qui, salah satu guru SMP Negeri 11 Jayapura.

Praktik membuat gerabah di SMP Negeri 11 Kota Jayapura sudah berjalan setiap tahun kepada siswa semester satu. Siswa sangat antusias dan semangat karena praktek di luar ruang kelas. Hanya saja, kendala yang dialami yaitu masalah bahan/tanah liat.

"Itu kesulitan yang kami hadapi, karena berbagai jenis tanah liat yang kami dapat agak berbeda, tapi tidak menjadi kendala. Yang kami praktikkan pada umumnya membuat piring-piring kecil, ada juga gerabah berukuran besar," katanya.
Roberth Hendrik Qui, salah satu guru SMP Negeri 11 Jayapura, mengamati siswa membuat gerabah pada Rabu (14/10) (ANTARA/Musa Abubar)


Biasanya tanah liat diambil di Perumnas III Waena, tapi juga di wilayah Abe Pantai, dan Pasar Tradisional Youtefa, Abepura. Meskipun kualitasnya kurang bagus, guru dan siswa berupaya merendam dan mengolahnya untuk membuat gerabah. Fasilitas pembuatan gerabah di sekolah itu terbatas, hanya beberapa roda giling untuk memutar, tetapi niat para guru mengajari siswanya tak kendor.

"Karena kita tahu bahan-bahan kimia dari proses olahan dari plastik itu sangat mengganggu kesehatan tubuh, dan kami sangat menekankan ini. Mereka boleh memilih, mana yang baik untuk mereka. Jadi, kami membuka wawasan pikiran siswa itu yang lebih utama," katanya.

Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Provinsi Papua dengan Balai Arkeologi Papua sudah beberapa kali berkolaborasi untuk melestarikan gerabah melalui pelatihan.

Ketua AGSI Provinsi Papua, Harjuni Serang mengatakan jika siswa-siswi dibekali dengan pengetahuan tentang gerabah, bukan saja untuk kebutuhan pribadi tetapi bisa saja bernilai bisnis bagi dia. Kedepannya, AGSI Papua akan berupaya mendatangkan pengajar yang berkompeten untuk mengajari siswa tentang pembuatan gerabah.*

Baca juga: 1.000 gerabah Kampung Abar disiapkan untuk cenderamata PON 2020 Papua

Baca juga: Mahasiswa UMM ciptakan mesin gerabah bantu pengrajin di Pagelaran

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020