Jakarta (ANTARA) - Debat calon presiden Amerika Serikat yang kedua yang sedianya diadakan 15 Oktober akhirnya ditiadakan setelah Donald Trump menolak format debat virtual yang justru dipilih karena panitia debat khawatir sang presiden masih bisa menularkan COVID-19 setelah dia langsung berkeliaran lagi pasca-tiga hari dirawat ketika protokol kesehatan universal merekomendasikan karantina selama paling sedikit satu pekan.

Keputusan Trump itu menghilangkan momentum untuk menyusul ketertinggalan dalam jajak pendapat dari calon presiden usungan Partai Demokrat, Joe Biden, sekalipun masih ada satu debat lagi menjelang pemungutan suara 3 November nanti.

Itu artinya Trump hanya punya waktu tiga pekan untuk memangkas defisit dalam jajak pendapat.

Baca juga: Peraturan baru akan diberlakukan pada debat Trump-Biden selanjutnya

Penampilan buruk pada debat pertama karena ulahnya yang berulang kali menginterupsi Biden ternyata tidak disukai oleh kebanyakan pemilih independen yang krusial dalam pemilu AS, kian membenamkan Trump dalam jajak pendapat.

Dia lebih terpuruk lagi setelah positif terjangkit COVID-19 yang tidak hanya menggugat keyakinannya berkaitan dengan virus corona namun juga memicu spekulasi kelayakannya dalam memangku jabatan presiden.

Ketidaktransparanan Gedung Putih mengenai kondisi kesehatan Trump dan prilaku Trump yang kian tak mempedulikan pandemi yang sudah merenggut 219.000 nyawa membuat Trump kembali dihadapkan kepada kemungkinan dilengserkan oleh DPR setelah Ketua DPR Nancy Pelosi mengusulkan pembentukan komisi guna menyelidiki kemampuan Trump dalam melanjutkan tugasnya.

Itu masih ditambah urusan pribadi dan laporan pajak sehingga Trump pun tercecer dalam kebanyakan jajak pendapat, termasuk yang dilakukan media konservatif yang cenderung mendukungnya, Fox News.

Jajak pendapat terakhir diadakan sepanjang pekan lalu yang diadakan enam penyelenggara jajak pendapat terkemuka --ABC/Washington Post, Pew Research Center, Fox News, IPSOS/Reuters, CNN/SSRS, dan NBC/Wll Street Journal-- semuanya mengunggulkan Biden secara nasional.

IPSOS/Reuters dalam rentang survei 2-6 Oktober menyimpulkan Biden unggul 52 persen melawan 40 persen, sementara rata-rata keenam survei ini mengunggulkan Biden 53 persen melawan 42 persen.

Tidak heran jika banyak sekali yang yakin Biden bakal mencatat kemenangan telak pada pemilu awal November nanti.

Masalahnya itu, jajak pendapat tingkat nasional itu tidak selalu paralel dengan hasil pemilu.

Al Gore dan Hillary Clinton contohnya. Selalu unggul dalam jajak pendapat secara nasional, kedua calon presiden dari Partai Demokrat itu tetap kalah dari George Bush dan Donald Trump, masing-masing pada pemilu 2000 dan pemilu 2016.

Tak seperti Indonesia di mana pemenang pemilu presiden ditentukan oleh suara terbanyak secara nasional, di AS tidak begitu.

Pada Pemilu 2016, Trump kalah tiga juta suara secara nasional dari Hillary Clinton, tetapi malah dia yang melenggang ke Gedung Putih.

Baca juga: Trump, Biden saling serang dalam debat pilpres pertama


Bukan jaminan

Oleh karena itu, sekalipun ada pertanda kuat Joe Biden bakal keluar sebagai pemenang, jajak pendapat nasional itu bukan menjadi jaminan Biden menang. Dan Demokrat sadar betul soal ini.

Mengapa demikian? Karena pemilu AS ditentukan atau mengikuti konsep lembaga yang disebut electoral college yang beranggotakan 538 elector yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Kongres (100 senator di majelis tinggi Senat dan 438 di majelis rendah DPR).

Pemilihan presiden AS pada dasarnya diadakan secara tidak langsung karena walaupun kertas suara berisi nama calon-calon presiden, pemilih sebenarnya mencoblos elector dari negara bagian mereka.

Setiap negara bagian diberi jatah elector sebanding dengan jumlah penduduk masing-masing negara bagian dan komposisinya mengikuti perkembangan demografis di setiap negara bagian.

Konsep electoral college dengan elector-nya ini untuk menentukan pemenang pemilihan presiden AS ini mirip dengan logika jatah kursi DPR RI untuk setiap provinsi di Indonesia pada pemilu legislatif kita yang sejak 2019 sama dengan AS diadakan bersamaan dengan pemilihan presiden.

Misalnya pada Pemilu 2019 lalu, Jawa Barat memiliki jatah 91 kursi dari total 575 kursi DPR RI. Sedangkan di AS misalnya mengambil contoh negara bagian New York yang saat ini memiliki jatah 29 elector.

Jika misalnya di Indonesia Partai Gerindra meraih mayoritas suara di Jawa Barat pada Pemilu 2019 maka partai itu mendapat bagian paling besar dari jatah 91 kursi DPR RI untuk Jawa Barat. Tetapi di AS tidak begitu aturan mainnya.

Pemilihan presiden AS memakai konsep "winner takes all", artinya siapa yang memenangkan suara mayoritas di sebuah negara bagian maka dialah yang mendapatkan seluruh jatah elector.

Jadi jika misalnya Joe Biden unggul di New York yang memiliki jatah 29 elector, sekalipun cuma menang dengan selisih suara 3 persen dari Trump, maka seluruh dari 29 elector di New York menjadi milik Biden.

Baca juga: Trump: Pemenang pemilu AS mungkin tak dapat diketahui segera

Baik Republik maupun Demokrat masing-masing memiliki negara bagian yang menjadi basis suaranya, yakni blue states untuk negara bagian-negara bagian yang cenderung memilih Demokrat dan red states untuk negara bagian-negara bagian yang condong memilih Republik.

Dari 50 negara bagian itu, sekitar 40 di antaranya cenderung memilih partai yang sama dalam beberapa pemilu terakhir.

Di negara bagian yang sudah pasti mayoritasnya memilih siapa dan partai apa, calon presiden AS biasanya tidak mencurahkan energi kampanyenya ke sana.

Sebaliknya pertarungan pemilu difokuskan kepada negara bagian bersuara mengambang (swing states) yang kecenderungan pemilihnya bisa berayun cepat antara memilih Republik atau Demokrat yang di antaranya karena sikap politik independen penduduk di negara bagian jenis ini yang sering pula disebut battleground state atau negara bagian medan tempur suara.

Pada Pemilu 2020 ini, paling tidak ada 12 negara bagian suara mengambang, yakni Arizona (11 elector), Florida (29), Georgia (16), Michigan (16), North Carolina (15), Pennsylvania (20), dan Wisconsin (10), ditambah Iowa (6), Minnesota (10), New Hampshire (4), Ohio (18) dan Texas (38).

Negara bagian-negara bagian ini menentukan kemenangan calon presiden dalam pemilu, termasuk pada Pemilu 2020 ini.

Biden tidak mencurahkan energinya di New York karena sudah pasti dia menang mengingat sejak lama negara bagian ini dikuasai Demokrat, sebaliknya Trump tidak akan habis-habisan berkampanye di Utah karena sejak lama negara bagian ini menjadi milik Republik. Keduanya sudah pasti mendapatkan semua elector di New York untuk Biden dan semua elector di Utah untuk Trump.

Baca juga: Pangeran Harry dan Meghan dorong warga Amerika untuk ikut pemilu


Populis akut

Setiap negara bagian berbeda jumlah elector tergantung demografi penduduknya. Namun sistem elector dalam Electoral College ini tidak berbanding lurus dengan jumlah suara nasional.

Misalnya, California yang memiliki jatah 55 elector mempunyai jumlah penduduk 40 juta orang.

Tetapi, Alabama yang memiliki 9 elector, Idaho (4 elector), Kansas (6), Missouri (10), North Dakota (3), South Dakota (3), Tennessee (11), Utah (6) dan Wyoming (3) jika ditotal kesembilan negara ini juga memiliki 55 elector, namun jumlah penduduknya hanya 28 juta jiwa.

Misalnya, jika Biden memenangkan California tetapi Trump menang di delapan negara bagian itu, keduanya sama-sama meraih 55 elector tetapi Biden unggul 12 juta suara pemilih.

Di kebanyakan negara demokrasi seperti Indonesia, dalam kondisi tersebut sudah pasti Biden dinyatakan menang, tetapi dalam pemilihan presiden AS tidak, karena bukan jumlah pemilih yang dihitung melainkan seberapa banyak elector yang didapat.

Konsep inilah yang membuat Hillary Clinton kalah dalam pemilu 2016 sekalipun memenangi suara pemilih terbanyak secara nasional.

Oleh karena itu, wajar jika Joe Biden tidak mau sesumbar bakal memenangkan Pemilu hanya karena jajak pendapat nasional menunjukkan dia mengungguli Trump.

Biden justru mencurahkan energi politiknya ke negara bagian-negara bagian suara mengambang yang juga disebut key states.

Beberapa survei terakhir menunjukkan Biden relatif unggul di negara bagian-negara bagian ini, sekalipun di beberapa di antaranya tipis-tipis saja.

Tak bisa dipungkiri Biden memang tengah memegang momentum, sebagian karena pandangan dia soal pandemi sejalan dengan kebanyakan rakyat AS ketimbang dengan pandangan Trump. Mengingat pengalaman politiknya yang panjang selama hampir lima dekade, kemungkinan besar dia akan mampu menjaga momentum keunggulannya dalam jajak pendapat.

Namun tak seperti Indonesia, AS tidak mengenal masa tenang ketika beberapa hari sebelum hari pencoblosan para calon dilarang berkampanye. Sebaliknya menjelang pemungutan suara dalam pemilu AS calon-calon masih boleh berkampanye untuk membidik pemilih yang sampai menjelang hari pemungutan suara masih belum menentukan pilihan.

Momen-momen inilah di antara faktor yang bisa membalikkan segala hasil survei nasional.

Baca juga: RI dinilai bisa mulai cari peluang dari pilpres AS

Biden memang tengah memegang kendali dan momentum, tetapi jangan meremehkan manuver Trump yang seperti pada umumnya politisi populis di seluruh dunia, fokus mengincar mayoritas pemilih yang di AS adalah pemilih kulit putih yang proporsinya mencapai 70 persen dari total pemilih di AS.

Bahkan dari hari ke hari orientasi populis Trump semakin akut saja. Dia kian terang-terangan hanya menyasar mayoritas kulit putih sehingga terlihat menjauhi minoritas sampai-sampai tak segan bersebelahan dengan kelompok supremasi kulit putih dan ekstrem kanan yang akibatnya jelas mengabaikan keberagaman.

Dan semua itu dilakukan pada saat AS diamuk oleh gelombang protes keadilan rasial dan sosial dalam bungkus gerakan Black Lives Matter.

Apakah rakyat AS akan membiarkan keberagaman yang menjadi trademark masyarakat demokratisnya itu pupus oleh populisme Trump atau justru terusik menyelamatkan keberagaman dan kesatuan seperti tersurat dalam kata "united" pada nama negara mereka, United States of America?

Jawabannya 3 November nanti.

Copyright © ANTARA 2020