Pemerintah sudah melakukan all out melalui kebijakan belanja atau ekspansi fiskalnya
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 bukan saja merupakan krisis kesehatan melainkan juga perekonomian karena memiliki efek domino atau menimbulkan reaksi berantai terhadap seluruh kegiatan masyarakat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan ketika harus menekankan begitu besarnya dampak pandemi ini mengingatkan virus COVID-19 telah menyerang hampir di seluruh aspek kehidupan, bahkan hingga ke akar rumput.

Penekanan jumlah kasus yang sementara ini hanya dapat dilakukan dengan menjaga jarak physical distancing memaksa masyarakat mengurangi sebagian besar aktivitas kesehariannya.

Pengurangan aktivitas itu biasa dilakukan salah satunya dengan work from home (WFH), namun tidak semua sektor dapat menerapkan sistem kerja tersebut seperti sektor industri.

Dalam membatasi interaksi, sektor industri harus mengurangi karyawan yang bekerja setiap harinya sehingga berimbas pada berkurangnya pendapatan dan tertekannya produktivitas. Bahkan seperti sektor UMKM, pariwisata, transportasi, hingga perdagangan turut merasakan dampak luar biasa dari pandemi ini mengingat semakin sedikit masyarakat yang berani beraktivitas normal.

Seiring dengan penurunan pendapatan maka perusahaan terpaksa mengurangi jumlah karyawan melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menekan biaya operasional sehingga jumlah pengangguran meningkat.

Presiden Joko Widodo menyebutkan di tengah pandemi terdapat sekitar 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak COVID-19 serta 2,9 juta penduduk usia kerja baru setiap tahun.

Peningkatan jumlah pengangguran sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk miskin yang diprediksikan Bappenas bertambah 2 juta orang pada akhir 2020 dibandingkan 2019.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2020 adalah sebesar 9,78 persen atau meningkat 0,56 persen terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen terhadap Maret 2019.

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang atau meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.

Peningkatan jumlah penduduk miskin telah terjadi sejak Maret 2020, padahal pada bulan tersebut COVID-19 baru mulai muncul dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) baru diterapkan.

Pandemi dan PSBB yang masih terus berlangsung hingga kini tentu akan semakin meningkatkan jumlah pengangguran maupun penduduk miskin Indonesia.

Sementara outlook tingkat kemiskinan pada tahun ini adalah sebesar 9,7 persen sampai 10,2 persen dengan target penurunan tingkat kemiskinan di level 9,2 persen hingga 9,7 persen untuk 2021.

Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat tercermin melalui penurunan kinerja konsumsi rumah tangga yang pada triwulan II 2020 mencapai 5,51 persen.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan lesunya kinerja konsumsi terlihat dari seluruh kelompok penjualan eceran seperti makanan, minuman dan tembakau yang mengalami minus 0,71 persen.

Kelompok lainnya yang ikut tumbuh negatif adalah pakaian, alas kaki dan jasa perawatan minus 5,13 persen, transportasi dan komunikasi minus 15,33 persen serta restoran dan hotel minus 16,53 persen.

Penurunan kinerja konsumsi rumah tangga tersebut menjadi pemicu utama kontraksi ekonomi Indonesia yang pada triwulan II 2020 mencapai minus 5,32 persen.

Untuk kuartal berikutnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksikan masih akan berada di zona negatif namun lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu berada di rentang minus 2,8 persen hingga minus 1 persen.

Seiring dengan itu, pada kuartal III dari sisi konsumsi RT dan LNPRT juga masih diperkirakan terkontraksi yaitu minus 3 hingga 1,5 persen dengan total outlook 2020 di kisaran minus 2,1 sampai minus 1 persen.

Sedangkan untuk kuartal IV, Sri Mulyani mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi mampu mendekati nol persen sehingga target pemerintah tahun ini yang sebesar minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen bisa tercapai.

Target pertumbuhan

Pemerintah terus mengejar target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang telah mengalami revisi dari semula minus 1,1 persen hingga 0,2 persen menjadi minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen.

Pengejaran target dilakukan dengan upaya pemerintah meningkatkan konsumsi masyarakat yang sempat terkontraksi cukup dalam karena berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 58 persen.

Pemerintah mengeluarkan segudang insentif dalam rangka mendorong konsumsi masyarakat yang pendapatannya sedang tertekan bahkan tidak ada pendapatan karena ter-PHK. Segudang insentif yang dikeluarkan pemerintah turut menuntut terjadinya peningkatan pada konsumsi pemerintah karena pada kuartal II terkontraksi mencapai 6,9 persen.

Bahkan Sri Mulyani mengejar target agar konsumsi pemerintah pada kuartal III mengalami pertumbuhan positif yang sangat tinggi yaitu 9,8 persen hingga 17 persen melalui akselerasi belanja.

“Untuk keseluruhan tahun kita ada antara di positif 0,6 persen hingga 4,8 persen untuk konsumsi pemerintah. Pemerintah sudah melakukan all out melalui kebijakan belanja atau ekspansi fiskalnya untuk counter cyclical,” katanya.

Perbaikan kesejahteraan masyarakat dilakukan salah satunya melalui penggelontoran dana mencapai Rp695,2 triliun sejak awal Juni 2020 untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Total anggaran Rp695,2 triliun tersebut difokuskan pada enam bidang yaitu kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, dan UMKM Rp123,46 triliun.

Kemudian tak luput juga untuk pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, serta sektoral K/L dan Pemda Rp106,11 triliun dan insentif dunia usaha Rp120,61 triliun.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif I Komite PC-PEN Raden Pardede menyatakan pemerintah akan mempercepat belanja dalam PEN dari enam bidang tersebut mulai Oktober 2020.

Percepatan belanja dilakukan dengan mengubah pola penyaluran misalnya untuk pembayaran insentif tenaga kesehatan dari tiga bulan sekali menjadi sekali dalam sebulan.

Raden menuturkan program yang selama ini lambat penyerapannya akan direalokasikan untuk belanja di kelompok yang paling cepat diserap misalnya program perlindungan sosial dan UMKM.

Tambahan belanja dalam program perlindungan sosial diarahkan untuk subsidi gaji, subsidi gaji guru honorer, subsidi kuota internet, perpanjangan diskon listrik dan tambahan dana bergulir.

Anggaran PEN untuk perlindungan sosial meningkat dari Rp203,9 triliun menjadi Rp242,01 triliun karena adanya realokasi tersebut.

Realokasi turut dilakukan pada program dukungan UMKM yang diarahkan untuk penyaluran bantuan produktif usaha mikro sehingga besaran anggaran yang semula Rp123,46 triliun menjadi 128,05 triliun.

Realokasi dilakukan di antaranya dari anggaran kesehatan sebesar Rp3,53 triliun karena belum ada pembayaran vaksin COVID-19 dalam jumlah besar pada tahun ini. Kemudian juga dilakukan dari anggaran untuk sektoral kementerian/lembaga dan pemda sebesar Rp34,57 triliun serta dari program pembiayaan korporasi sebesar Rp4,55 triliun.

Direktur riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan stimulus yang diberikan oleh pemerintah triliun akan mampu menahan laju perlambatan ekonomi akibat dampak wabah COVID-19.

Hal itu terjadi karena perlambatan ekonomi tak bisa dihindari selama masih ada COVID-19 sehingga stimulus merupakan upaya pemerintah untuk menahan agar perekonomian tidak terkontraksi lebih dalam.

“Stimulus itu memang bukan untuk membuat perekonomian kita ke atas tapi untuk menahan laju perlambatan ekonomi,” katanya.

Realisasi insentif

Ketua Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional Budi Gunadi menyatakan dari pagu anggaran Rp695,2 triliun telah tersalurkan Rp318,5 triliun atau 45,8 persen hingga akhir September 2020.

Realisasi tersebut meliputi kesehatan Rp21,9 triliun, perlindungan sosial Rp157,03 triliun, serta program sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda Rp26,61 triliun. Selanjutnya insentif usaha Rp28,07 triliun, dukungan UMKM Rp84,85 triliun dan program pembiayaan korporasi yang belum terealisasi atau nol persen.

Sri Mulyani melanjutkan realisasi anggaran atas PEN yang sudah menunjukkan akselerasi atas pemanfaatannya turut terjadi secara terperinci pada penempatan dana di bank Himbara yakni telah disalurkan kredit hingga 4,7 kali lipat.

“Total penempatan pada bank Himbara hingga saat ini adalah sebesar Rp47,5 triliun,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga menempatkan dana pada tujuh Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebesar Rp11,2 triliun serta tiga bank syariah sebesar Rp3 triliun.

Selanjutnya untuk beberapa program baru pun telah terealisasi dengan baik seperti bantuan subsidi gaji Rp13,98 triliun untuk 11,65 juta peserta dari target 15,7 juta pegawai.

Terakhir yaitu Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) Rp14 triliun kepada 5,9 juta pengusaha mikro dari target Rp22 triliun dan bantuan operasional dan pembelajaran daring pesantren Rp2,02 triliun.

Sri Mulyani memastikan pemerintah akan terus menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi di tengah masa pandemi karena keduanya berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat.

Keseimbangan harus dilakukan karena upaya pemerintah dalam memulihkan ekonomi yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat akan sangat bergantung pada penanganan pandemi COVID-19.

Oleh sebab itu, pemerintah akan meneruskan berbagai insentifnya sampai tahun depan dengan menyediakan anggaran PEN sebesar Rp372,3 triliun dalam APBN 2021 meski lebih rendah dibandingkan tahun ini Rp695,2 triliun.

Hal itu sebagai upaya menjaga keseimbangan antara kesehatan dengan ekonomi untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat.

Baca juga: KPPOD: Daya saing daerah berkelanjutan kunci utama pemulihan Indonesia
Baca juga: Kemenkeu: Tak bisa dibalik, tangani COVID-19 prasyarat ekonomi pulih
Baca juga: Pemerintah prioritaskan tujuh program percepat pemulihan APBN 2021

Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020