Tidak hanya mengajarkan, beliau merupakan wujud nyata dari perpaduan idealisme dan integritas
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai pendiri Kompas, Jakob Oetama semasa hidupnya telah mencurahkan diri dan pemikirannya untuk memajukan dunia jurnalistik.

Menurut dia, lebih dari itu, Jakob juga seorang budayawan sekaligus pelestari kebhinnekaan, menjadi penegas bahwa kecintaannya terhadap Indonesia tidak perlu diragukan.

"Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya, namun kepergiannya tidak akan sia-sia. Semasa hidupnya, peraih Bintang Mahaputera dari pemerintah Indonesia pada tahun 1973 ini telah mencurahkan diri dan pemikirannya untuk memajukan dunia jurnalistik," kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Ketua MPR Bambang Soesatyo pimpin serah terima jenazah Jakob Oetama

Baca juga: Jubir: Jakob Oetama tidak pernah tinggalkan identitas wartawan

 

Bamsoet mengungkapkan, seusai dirinya lulus kuliah dan memulai karir di dunia jurnalistik sebagai wartawan di Harian Umum Prioritas pada tahun 1985, dirinya banyak mendapat inspirasi dari sepak terjang Jakob Oetama.

Menurut Bamsoet, bagi para jurnalis muda seperti dirinya saat itu, sosok Jakob Oetama tidak sekadar guru, melainkan juga menjadi ayah ideologis.

"Tidak hanya mengajarkan, beliau merupakan wujud nyata dari perpaduan idealisme dan integritas. Cara beliau membesarkan Kompas bersama sahabatnya, PK Ojong, merupakan cerminan semangat gotong royong," ujarnya.

Dia mengatakan, terlalu banyak cerita baik tentang Jakob yang telah dengar dari para wartawan Kompas karena Jakob tidak memperlakukan wartawan maupun karyawannya sebagai pekerja, melainkan sebagai aset berharga yang dirawat, dijaga, dan dikembangkan.

"Hingga menempatkan wartawan Kompas sebagai wartawan yang paling sejahtera," katanya.

Baca juga: Keluarga beri penghormatan terakhir untuk Jakob Oetama

Baca juga: Alasan Jakob Oetama dimakamkan di TMPNU Kalibata


Bamsoet meyakini, walaupun sosok Jakob Oetama sudah tidak ada lagi namun semangatnya akan tetap menemani.

Menurut dia, ketekunan Jakob membangun Kompas hingga menjadi sebesar ini, menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk tidak pantang menyerah menghadapi berbagai cobaan dalam hidup.

"Sosok Jakob Oetama juga termasuk pejuang demokrasi, simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Pada 2-5 Oktober 1965, serta 21 Januari 1978, Kompas pernah dilarang terbit, namun Jakob Oetama tidak bergeming," katanya.

Bamsoet menilai, bagi Jakob, memberikan informasi yang akurat tentang kondisi bangsa dan negara merupakan bagian dari tanggungjawab pers dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca juga: Jakob Oetama wafat Polri: Indonesia kehilangan tokoh pers terbaik

Baca juga: Jakob Oetama disemayamkan di Kompas Gramedia untuk ingatkan sejarah

Baca juga: Jenazah Jakob Oetama tiba di rumah duka


 

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020