Terjadi sebanyak 243 pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 saat pendaftaran bakal pasangan calon Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020
Jakarta (ANTARA) - Proses pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia telah melintasi tahapan baru, yakni pendaftaran pasangan bakal calon perseorangan dan dari partai politik.

Hiruk-pikuk dinamika politik di daerah yang menyelenggarakan pilkada terpantau dengan jelas dari beragam platform media. Pawai, arak-arakan, dan rombongan yang berbondong-bondong ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi ciri yang selalu mewarnai pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah.

Gambar-gambar yang tersebar tampak lebih dari cukup untuk menilai bahwa suasana dan hiruk-pikuk itu sama dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Kemeriahan rombongan dan kerumunan orang menggambarkan betapa tidak ada bedanya dengan suasana normal.

Imbauan pemerintah dan penyelenggara pemilu agar pasangan bakal calon dan tim suksesnya mengenyahkan kerumunan dan pengerahan massa seolah angin lalu. Kenyataan itu menunjukkan bahwa suksesi kepala daerah masih identik dengan massa yang kasat mata.

Baca juga: KPK ingatkan calon kepala daerah tidak gunakan anggaran negara

Jumlah massa masih dianggap sebagai tolok ukur menunjukkan kekuatan politik (show of force). Massa yang banyak juga diklaim sebagai "personal branding" untuk mendongkrak elektabilitas.

Peneguhan implementasi protokol kesehatan yang selalu didengungkan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 tampaknya belum sepenuhnya dipatuhi di arena pilkada. Kekhawatiran penyebaran virus corona dari massa yang terkonsentrasi di sekitar pasangan calon tertutup hiruk-pikuk Pilkada 9 Desember 2020.

Karena itu, ada kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai potensi munculnya klaster baru penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kekhawatiran klaster pilkada sedang dirasakan banyak pihak.

Kerja Keras
Sebelum klaster pilkada, telah muncul klaster di kalangan keluarga dan masyarakat, klaster pasar tradisional dan klaster perkantoran. Pergerakan atau mobilitas orang juga disebut memicu peningkatan jumlah kasus positif.

Begitu juga klaster rumah sakit telah banyak diulas tentang lebih 100 dokter meninggal dunia. Itu belum jumlah paramedis dan tenaga kesehatan lainnya yang meninggal akibat terpapar virus corona.

Di semua klaster-klaster itu harus diakui masih membutuhkan kerja keras untuk mengatasi virus yang bermula dari Wuhan (China) ini. Dalam enam bulan terakhir, pergulatan telah berlangsung di tengah kasus terus bertambah setiap hari.

Kini proses politik sedang bercampur-baur dengan penyebaran wabah global ini. Jumlah orang yang terinfeksi pun terus meningkat di saat di tengah pergerakan orang di area pilkada naik.

Jumlah kasus baru positif COVID-19 untuk September yang diumumkan setiap hari rata-rata lebih 3.000 orang. Pada Agustus 2020, rata-rata 2.000 kasus per hari.

Baca juga: Euforia pendaftaran bapaslon dan kekhawatiran klaster pilkada

Mari simak data ini. Pada Selasa (1/9) jumlah kasus baru 2.775, Rabu (2/9) 3.075, Kamis (3/9) 3.622, Jumat (4/9) 3.269, Sabtu (5/9) 3.128, Ahad (6/9) 3.444 dan Senin (7/9) 2.880.

Dengan rata-rata 3.000 kasus baru setiap hari, jumlah orang yang terinfeksi virus corona mendekati angka 200 ribu. Pada 7 September 2020, jumlah orang yang terkonfirmasi positif sebanyak 196.989.

Dari jumlah itu, sebanyak 140.652 orang telah sembuh, 48.207 masih dirawat dan
8.130 meninggal dunia.

Disanksi
Di tengah peningkatan jumlah kasus dari hari demi hari itulah, proses Pilkada 2020 dilakukan. Pertarungan seru sedang terjadi di lini politik di satu sisi dan pergulatan melawan virus corona di sisi lain.

Begitu kuatnya persaingan politik--dengan pengerahan massa--protokol kesehatan terlupakan. Seruan memperhatikan protokol kesehatan kalah suara dengan pengeras dari mobil-mobil bak terbuka dan truk-truk pembawa "sound system" untuk mengiring sang jagoan ke kantor KPU.

Itu baru pendaftaran calon, belum di kegiatan lainnya. Dari sosialisasi hingga kampanye, semua melibatkan massa.

Tak ada beda pilkada sebelumnya dengan saat ini. Wabah tak menyurutkan pegiat-pegiat politik untuk menyemarakkannya.

Padahal sejak awal penyebaran di kota asalnya (Wuhan), virus ini menyebar dari kerumunan. Misalnya, pasar, kafe, restoran, perkantoran, dan angkutan publik.

Kekhawatiran munculnya klaster pilkada bukan mengada-ada karena tipikal virus ini yang bermula dari kerumunan dan kontak langsung maupun tidak langsung. Fakta yang telah terjadi menunjukkan bahwa "dimana ada kerumunan, di situlah ada potensi penularan".
 
Ilustrasi : Seorang tamu membuka maskernya sembari duduk berlatar depan spanduk pengumuman wajib masker guna mengantisipasi penularan COVID-19 di kantor KPU Kota Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA/Darwin Fatir.


Dalam konteks pencegahan penyebaran virus corona di arena pilkada itulah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian bersama pihak terkait mengidentifikasi pelanggaran protokol kesehatan oleh calon kepada daerah.

Mendagri kemudian menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis kepada lebih dari 50 calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan COVID-19.

Baca juga: DPR: Tahapan pendaftaran Pilkada belum siap terapkan prokes COVID-19

Pelanggaran terhadap protokol kesehatan tersebut, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Akmal Malik dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (7/9), dilakukan para calon kepala daerah pada saat deklarasi pencalonan, pendaftaran ke kantor KPU dan saat pembagian bantuan sosial.

Temuan Bawaslu
Temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI lebih mencengangkan lagi. Terjadi sebanyak 243 pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 saat pendaftaran bakal pasangan calon Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

Temuan 243 pelanggaran protokol kesehatan itu, kata anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin, yakni arak-arakan atau kegiatan yang mengumpulkan banyak orang.

Partai politik dan bakal pasangan calon tidak menerapkan protokol kesehatan. Mereka membawa sejumlah pendukung dan melakukan pengerahan massa.

Jarak antarpendukung bakal pasangan calon tidak terlaksana sesuai protokol kesehatan, terutama menjelang proses pendaftaran. Temuan tersebut didapatkan Bawaslu dari pengawasan melekat terhadap tahapan pendaftaran pilkada yang berlangsung pada Jumat-Ahad, 4-6 September 2020.

"Butuh keseriusan bakal pasangan calon dan parpol untuk mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan," katanya.

Selain itu, penyelenggara dan pihak keamanan harus lebih tegas menegakkan protokol kesehatan dan pencegahan COVID-19 pada pelaksanaan tahapan berikutnya pilkada, terutama kegiatan di luar ruangan.

Padahal, menurut Ketua Bawaslu RI Abhan, pihaknya sudah melakukan pencegahan jauh-jauh hari. Bawaslu telah lama mengingatkan bakal pasangan calon dan parpol pengusung untuk tidak mengerahkan massa saat tahapan pilkada.

Mengenai sanksi bagi peserta pilkada yang melanggar protokol kesehatan, Abhan memastikan ada sanksi administratif yang diawali rekomendasi dari Bawaslu untuk ditindaklanjuti KPU.

UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada memang tidak mengatur sanksi pidana bagi pelanggar protokol kesehatan. Namun Bawaslu punya kewenangan untuk meneruskan terkait pelanggaran yang diatur di luar UU Pilkada.

Belum Siap
Atas banyak pelanggaran protokol kesehatan di arena pilkada, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arwani Thomafi menilai dari tahapan pendaftaran bakal pasangan calon peserta Pilkada Serentak 2020, terlihat bahwa penyelenggara belum siap menerapkan protokol kesehatan (prokes) pencegahan COVID-19.

Secara umum protokol kesehatan pencegahan COVID-19 tidak diterapkan secara konsekuen oleh para pihak dalam tahapan pendaftaran calon kepala daerah.

Arwani mengingatkan Pasal 11 ayat (1) PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada. Dijelaskan bahwa seluruh pihak yang terlibat wajib melaksanakan protokol kesehatan (prokes) pencegahan COVID-19 sekurang-kurangnya menggunakan masker yang menutup hidung dan mulut hingga dagu.

Pasal 11 ayat (2) PKPU No 6/2020 menyebutkan bahwa bagi pihak yang melanggar prokes pencegahan COVID-19 maka penyelenggara pemilu (KPU Prov/Kab/Kota, PPK dan PPS) memberi peringatan kepada pihak yang abai dalam penerapan prokes pencegahan COVID-19.
 
Para bakal kandidat Pilkada Teluk Wondama saat menjalani pemeriksaan COVID-19 (Antara/Toyiban)



Pada Pasal 11 ayat (3) PKPU Nomor 6/2020 disebutkan jika pihak-pihak yang telah diperingatkan penyelenggara pilkada namun tidak mengindahkan, maka penyelenggara pilkada berkoordinasi dengan Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Panwaslu untuk mengenakan sanksi sesuai dengan peraturan Perundang-undangan.

Jika melihat pelanggaran prokes pencegahan COVID-19 yang eksesif di tengah masyarakat, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk menertibkan pelanggaran protokol kesehatan tersebut.

Pemerintah perlu menguatkan koordinasi dengan pemda yang daerah-nya menggelar pilkada dan diikuti koordinasi dengan Satgas Penanganan COVID-19 di tiap-tiap daerah bersama penyelenggara Pilkada.

Denda
Menurut Arwani, pelanggaran prokes pencegahan COVID-19 dapat diterapkan dua sanksi sekaligus. Pertama, penerapan sanksi sebagaimana diatur di masing-masing pemda, misalnya, denda kepada setiap pelanggar.

Kedua, penerapan sanksi oleh Panwaslu kecamatan/kelurahan dan Bawaslu provinsi, kabupaten/kota di bawah supervisi Bawaslu RI.

Karena itu, Bawaslu RI perlu menyiapkan instrumen regulasi khusus kepada penyelenggara pilkada, peserta pilkada dan pemilih mengenai penerapan prokes pencegahan COVID-19.

Sejak awal Komisi II DPR telah mengingatkan mengenai risiko pelaksanaan pilkada di masa pandemi. Tahapan pendaftaran pasangan calon selama tiga hari ini menampilkan sisi paradoksal yang cukup mengkhawatirkan.

Padahal tahapan Pilkada Serentak 2020 masih cukup panjang, belum kampanye, sosialisasi hingga hari pelaksanaan pencoblosan pada 9 Desember mendatang. Semua itu melibatkan massa.

Arena pilkada yang masih diwarnai gegap-gempita tanpa memperhatikan protokol kesehatan adalah fakta-fakta yang wajib direnung semua pihak dengan kesadaran bahwa virus corona sedang mengintai siapapun.

Karena itu, nafsu untuk memenangi rivalitas jangan sampai melupakan bahwa COVID-19 adalah penyakit yang sangat potensial menyebar dari kerumunan orang.

Semua sisi kehidupan di dunia ini sedang dalam cengkeraman virus corona dan "mencegah adalah lebih baik daripada mengobati".

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020