pendapatan negara kita tekanannya lebih kepada memberikan insentif untuk pemulihan ekonomi, sehingga target growth penerimaan negara dari perpajakan dibuat tidak terlalu tinggi
Jakarta (ANTARA) - Ketidakpastian global maupun domestik yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 masih menjadi perhatian pemerintah dalam merumuskan postur RAPBN 2021.

Meski menjadi gamang dalam menyusun angka-angka, pemerintah tetap mencanangkan sejumlah program pemulihan ekonomi yang akan dijalankan secara bersamaan dengan reformasi dalam berbagai bidang.

Untuk itu, rancangan kebijakan RAPBN 2021 diarahkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional maupun mendorong reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas, inovasi, dan daya saing ekonomi.

Kebijakan tersebut juga direncanakan untuk mempercepat transformasi ekonomi menuju era digital, serta pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi.

Presiden Joko Widodo dalam pidato penyampaian RUU APBN 2021 dan Nota Keuangan pada Rapat Paripurna DPR-RI Tahun Sidang 2020-2021, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat, memastikan perwujudan rencana tersebut membutuhkan relaksasi defisit anggaran.

"Kebijakan relaksasi defisit melebihi tiga persen dari PDB masih diperlukan, dengan tetap menjaga kehati-hatian, kredibilitas, dan kesinambungan fiskal," ujarnya.

Pelebaran defisit anggaran itu sudah dilakukan pada 2020 mengingat kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian meningkat pada saat pendapatan negara menurun akibat COVID-19.

Dalam RAPBN 2021, defisit anggaran direncanakan sekitar 5,5 persen dari PDB atau Rp971,2 triliun. Target ini lebih rendah dibandingkan defisit anggaran di 2020 sebesar 6,34 persen dari PDB atau Rp1.039,2 triliun.

Melalui defisit tersebut, maka pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.776,4 triliun dengan belanja negara mencapai Rp2.747,5 triliun.

Presiden memastikan defisit anggaran tahun 2021 akan dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang aman, dan dikelola secara hati-hati.

"Pembiayaan utang dilaksanakan secara responsif mendukung kebijakan countercyclical dan akselerasi pemulihan sosial ekonomi. Pengelolaan utang yang hati-hati selalu dijaga pemerintah secara konsisten," ujarnya.

Pembiayaan defisit RAPBN tahun 2021 juga dilakukan melalui kerja sama dengan otoritas moneter, dengan tetap menjaga prinsip disiplin fiskal dan disiplin kebijakan moneter, serta menjaga integritas, kredibilitas, dan kepercayaan pasar surat berharga.

Presiden menegaskan komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan fiskal ikut diupayakan agar tingkat utang tetap dalam batas yang terkendali.

"Pemerintah terus meningkatkan efisiensi biaya utang melalui pendalaman pasar, perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur pasar Surat Berharga Negara (SBN), diversifikasi, dan mendorong penerbitan obligasi/sukuk daerah," katanya.

Alokasi belanja

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan adanya ketidakpastian akibat COVID-19 menjadi landasan pemerintah dalam menetapkan defisit sebesar 5,5 persen terhadap PDB di RAPBN 2021.

“Defisit 5,5 persen ditetapkan karena kita melihat COVID-19 memberikan ketidakpastian yang masih akan berlangsung sampai tahun depan,” katanya dalam konferensi pers RUU APBN 2021 dan Nota Keuangan.

Ketidakpastian itu yang membuat pemerintah masih menetapkan kisaran dalam asumsi pertumbuhan ekonomi di RAPBN 2021 sebesar 4,5 persen-5,5 persen, atau tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang sudah ditetapkan dalam satu angka tertentu.

Meski demikian, Sri Mulyani memastikan ekspansi fiskal tetap dilakukan untuk program pemulihan ekonomi dan penanganan kesehatan melalui pelebaran defisit anggaran.

Pendapatan negara yang direncanakan dalam RAPBN 2021 sebesar Rp1.776,4 triliun, mengalami kenaikan 4,5 persen dari target penerimaan tahun ini yaitu Rp1.699,9 triliun.

Kenaikan target pendapatan negara itu seiring dengan penerimaan perpajakan yang juga ditargetkan lebih tinggi 5,5 persen, menjadi Rp1.481,9 triliun dari 2020 sebesar Rp1.404,5 triliun.

"Dari sisi pendapatan negara kita tekanannya lebih kepada memberikan insentif untuk pemulihan ekonomi, sehingga target growth penerimaan negara dari perpajakan dibuat tidak terlalu tinggi," katanya.

Kemudian, target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah Rp283,5 triliun atau melambat 0,2 persen dari target 2020 sebesar Rp294,1 triliun dan hibah sebesar Rp0,9 triliun.

Untuk belanja negara tahun depan, pemerintah akan tetap mendukung program-program seperti bantuan sosial (bansos) dalam rangka mengakselerasi pemulihan terutama untuk daya beli masyarakat yang paling rendah.

Tak hanya itu, Sri Mulyani menuturkan belanja negara juga akan difokuskan untuk pemberian akses bagi UMKM dan koperasi melalui subsidi bunga KUR serta dukungan untuk sektor terdampak seperti pangan dan pariwisata.

Belanja negara pada 2021 diperkirakan mencapai Rp2.747,5 triliun atau tumbuh 0,3 persen dibanding target belanja 2020 yaitu Rp2.739.2 triliun. Perkiraan peningkatan belanja tersebut berasal dari belanja Kementerian Lembaga yang naik hingga 23,1 persen dari tahun ini yaitu dari Rp836,4 triliun menjadi Rp1.029,9 triliun.

Sedangkan, belanja non Kementerian Lembaga diperkirakan turun 19,1 persen atau Rp921,4 triliun dari Rp1.138,9 triliun pada 2020, karena beberapa pos belanja akan dialihkan kepada Kementerian Lembaga terutama untuk penanganan COVID-19 dan belanja-belanja prioritas.

Kemudian untuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) adalah Rp796,3 triliun atau meningkat 4,2 persen dari tahun ini yang sebesar Rp763,9 triliun.

Penanganan kemiskinan

Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menegaskan ekspansi fiskal berupa pelebaran defisit anggaran hingga 5,5 persen dari PDB mempunyai tujuan untuk menekan laju kemiskinan dan pengangguran.

Menurut dia, adanya pandemi berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran sehingga pemerintah fokus untuk memberikan stimulus perlindungan sosial kepada masyarakat terdampak.

Selain itu, bantuan stimulus itu juga dapat menciptakan lapangan kerja yang diarahkan padat karya tunai seperti di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Desa.

Penambahan belanja tersebut hanya bisa dilakukan melalui pelebaran defisit anggaran agar tingkat kemiskinan dan pengangguran bisa direm serta tidak semakin meningkat jumlahnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2020, tingkat kemiskinan mencapai 9,78 persen atau naik 0,56 persen dibandingkan periode September 2019.

Pandemi COVID-19 telah menghentikan tren penurunan tingkat kemiskinan yang berlangsung sejak 2016, karena terdapat 1,63 juta orang miskin baru dibandingkan September 2019.

Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka Februari 2020 sebelum COVID-19 tercatat menurun menjadi 4,99 persen. Namun pandemi ini mengakibatkan tambahan pengangguran sebanyak 1,76 juta pekerja hingga Mei 2020.

Dengan rencana belanja yang lebih komprehensif dan tepat sasaran, pemerintah mengharapkan adanya perbaikan tingkat kemiskinan dengan target 9,2 persen - 9,7 persen dan tingkat pengangguran 7,7 hingga 9,1 persen pada 2021.

Kebijakan tepat

Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto menilai RAPBN 2021 cukup ekspansif dan konsolidatif sehingga dapat menjadi kebijakan yang kontra-siklus dengan tren perlambatan ekonomi dan berbalik untuk mendorong pemulihan ekonomi.

Dalam situasi pandemi COVID-19 yang telah melemahkan kegiatan perekonomian, kebijakan fiskal yang fleksibel melalui pelebaran defisit anggaran, dapat menjadi instrumen untuk menahan perlambatan ekonomi.

Namun, ia mengingatkan kebijakan itu harus disertai perbaikan kualitas belanja pemerintah yang dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan kesehatan yang memadai.

Menurut Dito, belanja yang ekspansif membutuhkan perencanaan yang matang dan terintegrasi setiap sektor terutama agar penanganan kesehatan masyarakat dapat sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional.

"Hasil dari Pemulihan Ekonomi Nasional harus dioptimalkan untuk menangani masalah kesehatan yang disebabkan oleh COVID-19. Itu juga harus disinergikan dengan kebijakan untuk melindungi kehidupan sosial, ekonomi masyarakat," ujar politikus Partai Golkar ini.

Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah bahkan menilai defisit defisit anggaran yang ditargetkan dalam RAPBN 2021 masih kurang besar karena pemerintah masih membutuhkan ruang untuk belanja.

"Tidak ada masalah dengan pelebaran defisit. Saya justru berpandangan defisitnya kurang besar. Pemerintah masih terlalu berhati-hati," ujar Piter saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pelebaran defisit anggaran masih dibutuhkan mengingat penerimaan pajak belum dapat diandalkan untuk pembiayaan APBN, karena dunia usaha belum sepenuhnya pulih dari tekanan COVID-19.

Padahal untuk membangkitkan kembali perekonomian di Tanah Air, lanjut Piter, pemerintah harus lebih progresif dan kerja lebih keras agar dapat meraih momentum dari perlambatan ekonomi yang juga dialami negara-negara lainnya.

Piter juga menilai program-program yang sudah dibuat oleh pemerintah selama ini untuk memulihkan ekonomi nasional setelah terdampak pandemi sudah relatif baik dan tepat.

"Program pemerintah arahnya sudah banyak yang tepat. Tinggal diperbesar dan dipercepat realisasinya, bansos, bantuan kepada dunia usaha, dan lain-lain," ujarnya.

Dengan kebijakan fiskal yang ekspansif, pemerintah mengharapkan penanganan kesehatan dapat berjalan optimal dan pemulihan ekonomi secara menyeluruh dapat terjadi pada 2021.

Tantangan selanjutnya adalah implementasi belanja, yang selalu menjadi catatan tersendiri, mengingat pemerintah masih berhadapan dengan masalah lambatnya pencairan anggaran.

Selama ini, realisasi belanja yang belum efektif dan terserap maksimal itu sangat kontradiktif dengan tujuan maupun semangat awal untuk memperlebar defisit anggaran.

Baca juga: Menkeu: Ketidakpastian sebabkan defisit 2021 ditetapkan 5,5 persen
Baca juga: Menkeu ungkap 10 kementerian lembaga dengan anggaran tertinggi 2021
Baca juga: Pemerintah siapkan Rp356,5 triliun untuk program PEN 2021

 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020