Denpasar (ANTARA) - Selama masa pandemi COVID-19, eksistensi dan penggunaan kain endek di Bali masih digemari kalangan anak muda dan orang tua dengan kreasi kain endek yang beragam untuk penggunaan sehari-hari.

"Produksi endek di Bali sebelum pandemi semua berjalan dengan baik. Terlebih lagi sekarang endek sudah mengalami perkembangan yang luar biasa. Baik dari motif, warna, dan kreasi dari endek itu sendiri. Tidak hanya untuk kegiatan religi saja, bahkan dalam kegiatan sehari-hari juga, seperti pakaian kantor, gaun malam, hingga pakaian sehari-hari. Sekarang juga banyak anak muda, mulai mengkreasikan kain endek sebagai pakaian sehari-harinya," kata Duta Endek Bali Tahun 2019 Lady Athalia.

Ia mengatakan pada awal masa pandemi COVID-19, endek Bali sempat mengalami penurunan, namun karena endek yang memiliki warna dan motif unik dan mudah diterima masyarakat, sehingga menjadi sasaran utama dalam bertahan di masa pandemi ini.

"Kain endek di Bali juga memiliki daya tarik tersendiri, misalnya sebagai bahan utama pembuatan APD (masker). Banyak yang berkreasi menggunakan endek sebagai bahan pendukung dalam pembuatan masker kain. Bukan hanya masker, namun juga aksesories lainnya, seperti scrunchie (ikat rambut), juga bandana," kata Lady.

Adapun yang menonjol dari kain endek Bali, yaitu bahannya yang terbuat dari tenun ikat asli Bali. Selain itu, keunikan endek Bali terletak pada cara pembuatannya yang masih menggunakan alat tenun bukan mesin, begitu juga motif yang dihasilkan adalah hasil dari tenunan (bukan lukisan).

Kain endek di Bali terdiri dari beragam jenis motif endek, di antaranya motif encak saji yang biasa dipilih untuk upacara keagamaan untuk umat Hindu, lalu ada motif songket, motif rangrang, endek jumputan, dan masih banyak lainnya.

Selain itu, penggemar kain endek juga berasal dari berbagai kalangan, salah satunya generasi muda. Menurutnya, generasi muda memegang kunci utama dalam upaya melestarikan endek dan mampu menunjukkan kreativitas dalam pengolahan kain endek.

"Kita sebagai generasi muda Bali harus menjaga dan melestarikan warisan budaya yang kita miliki. Sangat penting bagi kita untuk mencintai warisan ini. Karena kain endek adalah milik kita, kita yang memakainya, dan kita yang bangga dengan warisan budaya yang kita miliki ini," ucapnya.

Menurutnya, yang membedakan endek Bali dengan endek lainnya itu terletak pada motifnya. Motif endek Bali memiliki hasil tenunan yang berbeda dengan hasil tulisan lainnya.

"Motif dengan teknik tulis akan jelas detailnya, bahkan titik kecilpun bisa dibuat. Tapi untuk endek, detailnya terbatas, dan bahkan garisnya terlihat kurang sempurna. Di beberapa kain endek motifnya juga memakai ciri khas Bali ya seperti contohnya wayang Bali, bunga jepun dan lainnya,"kata Lady saat diwawancara.

Lady mengatakan saat pandemi COVID-19, pesona endek sebenarnya masih digemari, tapi kendalanya di kondisi ekonomi. Kata dia, sebagian orang tentu akan menghemat demi bertahan hidup. Ketika endek digunakan untuk pembuatan masker dan aksesoris lainnya, malah saat ini lumayan digemari berbagai kalangan.

Sebelumnya, dari kalangan pegawai kantor sangat menggemari kain endek, baik sebagai seragam kantor, kebaya Bali, sedangkan bagi kalangan anak muda, kain endek Bali bisa diubah menjadi pakaian yang trendi dan tidak kuno.

Kondisi pandemi ini, juga mempengaruhi produktivitas pemasaran endek. Menurut salah satu pengusaha endek di Kabupaten Klungkung, Bali, Ketut Sriani, selama tiga bulan sejak Maret sampai Mei 2020 terjadi penurunan drastis hingga 100 persen.

"Biasanya tuh nyari endek dipakai kado, suvenir dan seragaman. Anak-anak muda juga gemar menggunakan endek yang dipadukan menjadi kebaya dan untuk wisuda," kata Ketut Sriani.

Ia juga menyediakan produksi kain endek rumahan yang dikerjakan oleh 70 orang pekerja, namun semenjak COVID-19 sebanyak 67 orang terpaksa dirumahkan dan hanya memperkerjakan tiga orang. "Pekerjanya diberhentikan sejenak dulu karena saya tidak bisa bayar ongkos, tidak bisa beli bahan lagi, dan tidak bisa muter kain atau tidak jalan, begitu jadinya," ucapnya.

Ketut Sriani mulai merintis produksi kain endek tersebut sejak tahun 2000 hingga saat ini. Berbagai kain endek sudah diproduksi, mulai dari jenis tenun ikat bahan sutra, berbahan dasar csm, dengan motif polos, dan dobel ikat.

Pemasaran endek juga dilakukan hingga ke wilayah Jakarta dan beberapa Kabupaten/kota di Bali, dengan menyasar anak-anak muda dan pegawai kantor.​​​​​​​

Sriani menjelaskan sebelum COVID-19, penjualan kain endek mencapai 200 potong kain dalam satu bulan, sedangkan tiga bulan terakhir di Tahun 2020, hanya ada 10 potong kain endek yang laku terjual.

"Semenjak adaptasi normal baru ini, sudah ada permintaan seragam berbahan dasar endek dari sekolah-sekolah dari Kabupaten Karangasem, Bangli yang rutin setiap tahun," katanya.

Selama COVID-19 ini, sebenarnya tidak mempengaruhi daya tarik penggunaan kain endek di Bali secara signifikan. Hanya saja perubahannya terjadi pada kuantitas produksi kain endek.

​​​​​​​Permintaan kain endek dengan beragam kreasi menjadi daya tarik tertentu dalam dunia fashion kini. Sehingga para pengusaha dituntut kreatif dalam mengolah produksi kain endek itu.

Pewarta: Ayu Khania Pranishita
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020