Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merekomendasikan pentingnya perbaikan sistem pendataan penerima bantuan di tengah pandemi COVID-19 yang didasarkan pada data faktual melalui pemutakhiran data.

Perbaikan sistem pendataan, terutama untuk warga yang baru kehilangan pekerjaan atau penghasilan dan memiliki KTP bukan lokasi setempat dengan melibatkan RT dan RW, kelurahan atau desa, serta perangkat desa lainnya yang dilakukan secara transparan.

"Dari hasil survei kita, ternyata banyak masyarakat berpendidikan tinggi dan berpendapatan cukup besar mendapat bantuan," kata Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Deny Hidayati dalam acara virtual "Talk to Scientists: Fenomena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), New Normal, dan Mobilitas dalam Kajian Sosial" di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Generasi Z terdampak paling besar kehilangan pekerjaan akibat PSBB

Survei dilakukan dalam jaringan pada 3-12 Mei 2020 dengan total valid responden 919 orang berusia 15 tahun ke atas di wilayah PSBB DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Deny mengatakan bantuan kebutuhan pokok dari pemerintah sangat penting dan mendesak agar dapat bertahan. Bantuan sudah didistribusikan, tetapi mengalami banyak masalah dalam pelaksanaannya, terkait dengan data penerima bantuan.

Deny menuturkan banyak responden yang berhak menerima bantuan, tetapi tidak mendapatkan bantuan. Banyak responden yang berpendidikan tinggi dan berpendapatan cukup besar, tetapi mendapat bantuan.

Berdasarkan survei, bantuan yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan.

Deny menuturkan dari survei sebagian besar responden tidak mampu bertahan tanpa bantuan.

Baca juga: Peneliti: Pastikan protokol kepulangan PMI cegah penularan COVIID-19

Kelompok milenial atau generasi Y lebih mampu bertahan daripada generasi lain. Sedangkan generasi z paling rendah kemampuan bertahan selama PSBB. "Setelah generasi Z yang kurang mampu bertahan adalah generasi tua atau baby boomers," tutur Deny.

Deny mengatakan yang paling rendah kemampuan bertahan selama pelaksanaan PSBB adalah mereka yang memiliki pendapatan rendah, kurang dari Rp1 juta atau Rp2 juta. Sementara yang berpendapatan di atas Rp8 juta lebih mampu bertahan.

Deny mengatakan kemampuan responden untuk bertahan selama pelaksanaan PSBB sangat terbatas. Penerima bantuan kebanyakan hanya mampu bertahan sepekan ke depan. Sementara sebagian besar nonpenerima bantuan mengaku tidak mampu bertahan tanpa bantuan pemerintah.

Baca juga: Peneliti: Herd immunity skenario terburuk tangani COVID-19

Baca juga: Peneliti LIPI: COVID-19 berpotensi menular melalui feses


Deny menuturkan hanya 3,8 persen penerima bantuan berpendapatan kurang dari Rp1 juta/bulan, 36 persen berpendapatan Rp2 juta-Rp4 juta/bulan, 25 persen berpendapatan Rp4 juta-Rp6 juta/bulan, 15,4 persen berpendapatan Rp1 juta-Rp2 juta/bulan, 9,6 persen berpendapatan Rp6 juta-Rp8 juta/bulan, dan 7,7 persen penerima bantuan berpendapatan lebih dari Rp10 juta/bulan.

Dari segi pendidikan, 6,5 persen penerima bantuan berpendidikan tinggi, yakni diploma sampai doktor, 40,7 persen penerima bantuan berpendidikan SMA sederajat, dan 25,7 persen berpendidikan rendah. yakni SMP ke bawah.

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020