Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia tengah menggodok sejumlah hal terkait teknis tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan penerapan jaga jarak fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan COVID-19.

Komisioner KPU Viryan Azis mencoba memberikan gambaran tahapan Pilkada di era pandemi COVID-19.  

Dimulai daRi tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Menurut Viryan tahapan coklit idealnya memang harus dilakukan dari 'pintu ke pintu' (door to door). Namun di saat kondisi era pandemi saat ini, hal ini tentu berbeda.

Baca juga: KPU rencanakan tahapan pilkada bergulir 6 Juni 2020

“Itu idealnya. Tapi pendekatan door to door tidak disebut dalam Undang-Undang, di pasal 57 atau 58 ayat 3 yang disebut adalah melakukan coklit Daftar Pemilih Sementara di wilayah RT/RW yang bersangkutan. Sehingga menjadi relevan, kalau pendekatannya (coklit) digunakan berbasis RT/RW,” ujar Viryan dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Minggu.

Untuk itu, coklit DPS secara door to door ke depan direncanakan tidak lagi dilaksanakan. oleh karenanya KPU perlu mengubah dua hal. Pertama, kegiatan regrouping Tempat Pemungutan Suara (TPS) setiap Pemilu dan TPS yang berubah-ubah sudah saatnya diakhiri. 

Dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang ada saat ini, sudah saatnya menata manajemen pemutakhiran data pemilih yang lebih baik. "Ke depan TPS bersifat permanen. Harapannya TPS berubah bisa dikurangi,” ujar Viryan.

Baca juga: Menkes sarankan tahapan Pilkada ditetapkan setelah pandemi berakhir

Terkait pemutakhiran data pemilih di era physical distancing, Viryan mengatakan KPU telah mendapatkan data Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dari pemerintah sebanyak 105 juta. Sedangkan data KPU dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada ada 101 juta. Dalam UU 10/2016, basis pemutakhiran data pemilih adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir.

Berdasarkan data usai pemilu 2019 dengan segala kekurangannya, terlihat selisih data antara DPT (2019) dengan DP4 itu kurang lebih 4-5 persen. Maka, sejak November 2019, KPU RI sudah menggaungkan kepada KPU daerah agar melakukan pemetaan pemilih sejak dini, kata Viryan.

Khusus daerah-daerah yang melakukan pilkada, sejak November telah dilakukan pengecekan data dan pembersihan data yang substansinya adalah penyelenggara pemilu di daerah harus menguasai data yang ada dalam dirinya, yang ada di KPU.

“Bila perlu sampai detil, kami minta per desa/kelurahan dianalisis, berapa yang TMS, berapa DPK yang kemarin belum masuk layak dimasukkan, berapa DPK yang tidak bisa dimasukkan. Itu sejak November kami minta,” ujar dia.

KPU juga memperhatikan tentang adanya potensi ketidaksesuaian data apabila datanya diambil hanya dari orang-orang RT/RW, tidak turun langsung seperti kasus-kasus sebelumnya.

Sebelumnya pernah terjadi malpraktik Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (Pantarlih) per TPS karena tidak bekerja secara 'door to door'. Hal itu terjadi karena Pantarlih bekerja per TPS. Karena satu TPS bisa terdiri dari dua sampai lima RT, sejumlah Pantarlih tidak bisa bekerja dengan baik karena dia harus bergerak dari RT ke RT.
 

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menjelaskan perubahan jadwal tahapan pilkada sesudah ditunda karena COVID-19, di Jakarta, Sabtu, (16/5/2020). (Boyke Ledy Watra)

Untuk itu, menurut Viryan, KPU akan menguatkan Pantarlih sehingga tidak lagi per TPS namun per RT. 

Dengan adanya instrumen ini, Viryan berpendapat, pencocokan dan penelitian data pemilih sebetulnya memungkinkan dilakukan meski tidak harus mendatangi warga satu persatu.

Viryan mengatakan memang jumlah Pantarlih akan jauh lebih banyak dan karena kegiatan coklitnya dalam lingkup RT. Namun kontak langsung dapat diminimalisir serta dimungkinkan Pantarlih berbasis RT tersebut tidak datang dari rumah ke rumah, karena sudah tahu siapa saja pemilih yang berada di wilayahnya.

Baca juga: Perludem ingatkan KPU tegas bersikap jika realisasi pilkada 2020 sulit

“Beda kalau dia per TPS, dia harus berkunjung ke satu RT, kemudian dia ke RT lain. Dengan demikian lebih detil, apabila RT/RW tersebut akan dijadikan petugas KPPS. Sehingga kalau nanti ada masalah, RT/RW lah yang bertanggung jawab. Karena dia sudah melakukan pemutakhiran data pemilih. Desain ini yang coba dibangun KPU RI dalam PKPU,” ujar Viryan.

Secara bersamaan, bila para pihak terkait setuju dengan desain yang dirancang KPU tersebut, para pihak terkait dapat memangkas anggaran dengan melakukan kampanye secara manual menjadi pendekatan daring.

“Meskipun dalam UU diatur kampanye secara manual bisa kita pangkas, digeser jadi pendekatan daring, ini sangat signifikan mengurangi anggaran kita,” ujar dia.

Baca juga: Bawaslu: KPU harus segera siapkan revisi PKPU tahapan pilkada

Mau tidak mau, dengan asumsi data pada Pemilu serentak 2019 kemarin, dengan datanya sudah 95 persen, coklit dengan RT/RW semestinya bisa terlaksana dengan baik.

“Harapannya, 90 persen. Jadi kurang lebih selisihnya itu 3 sampai 4 juta. Ini kami memintakan kepada teman-teman sejak awal, kuasai data sehingga kita bisa hanya menambah kurang lebih 3-5 juta se-Indonesia besaran datanya,” ujar Viryan.

Kemudian selain kegiatan coklit berbasis RT/RW, sejak pemilu 2019 lalu, KPU juga sudah menyiapkan sistem coklit online. Sehingga masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan digital bisa juga memberikan input data pemilih kepada KPU secara daring.

“Rencananya sudah dirancang sejak awal tahun. Sebelum ada COVID-19 ini. Ketika kegiatan coklit dimulai, hari pertama, KPU RI juga meluncurkan website tertentu, kalau kita ingat Pemilu 2019 itu ada lindungihakpilihmu.kpu.go.id,” ujar Viryan.

Selain itu, Viryan mengatakan pemenuhan hak sipil untuk mencalonkan diri di masa pandemi saat ini juga menjadi perhatian KPU. Agar formula penyelenggaraan pemilihan yang ada tetap menjamin kualitas penyelenggaraan yang baik untuk pemenuhan hak pilih warga negara.

“Oleh karena itu, verifikasi faktual di lapangan yang terdapat dalam pasal 48 ayat 6 itu enggak bisa diutak-atik. Yang paling mungkin saat ini 3 pendekatan, dalam teknis verifikasi faktual,” ujar dia.

Pertama, verifikasi faktual secara langsung door to door. Kalau tidak memungkinkan, Kedua, KPU memintakan kepada petugas dari pasangan calon agar pasangan calon dikumpulkan di satu tempat, baru KPU dan Bawaslu datang untuk verifikasi. Ketiga, verifikasinya menggunakan video call seiring dengan adanya whatsapp.

Baca juga: Akademisi: KPU dapat menyiapkan skenario alternatif pilkada

“Ini sudah kami normakan di PKPU, tapi ini untuk kondisi terakhir. Nah, apakah mungkin dibalik pakai video call dulu, atau diberikan tiga opsi dari opsi pertama, kedua, ketiga, ini terus kami cari jalan yang tidak melanggar UU namun tetap menjamin keselamatan masyarakat dan kegiatan itu bisa efektif dilaksanakan,” ujar Viryan.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020