Jakarta (ANTARA) - Aktris Hannah Al Rashid melihat industri perfilman Indonesia masih belum mendekati level kesetaraan gender, meski memang semakin banyak perempuan yang kini telah duduk di kursi sutradara, produser maupun bertindak sebagai kru.

Hal ini, menurut Hannah, dikarenakan belum banyak perempuan yang dapat menduduki posisi penting di dalam industri perfilman.

"Saya lihat masih belum, karena kalau dipikirkan produksi mayoritas di lokasi adalah laki-laki, apalagi stakeholder yang memang keputusan kebanyakan masih laki-laki," ujar Hannah dalam diskusi yang digelar Tokopedia dengan tema "The Future is Equal" secara daring, Rabu.

Baca juga: Film Indonesia butuh perspektif perempuan

Baca juga: Sosok Kartini di perfilman Indonesia dari masa ke masa


Seorang stakeholder perempuan di industri perfilman dirasa penting agar dapat mendengarkan dan memahami keluhan langsung para pekerja seni perempuan, sekaligus mencari soslusi dan membuat keputusan dari sebuah masalah.

Lebih dari itu, akar permasalahan kesetaraan gender, menurut perempuan yang merupakan duta PBB untuk Indonesia itu berada pada sistem dan budaya patriarki di Indonesia. Lebih dari itu, persoalan kesetaraan gender yang tidak dilihat secara fisik menjadi tantangan tersendiri.

Sehingga, kesetaran gender, menurut Hannah berada pada isu mentah, bagaimana mengubah pola pikir manusia, bahwa sebenarnya perempuan memiliki potensi yang sangat besar, bukan dianggap sebagai beban keluarga seperti yang ada pada budaya patriarki.

Kembali pada industri perfilman, bintang film "Aruna & Lidahnya" itu merasakan adanya double standard bagi seorang perempuan yang menggeluti profesi seperti dirinya. Standar kecantikan -- yang entah siapa yang menciptakan -- menurut Hannah, tidak menjadi tuntutan bagi para lelaki.

Double standard juga dirasakan Hannah ketika di lapangan, seseorang laki-laki yang menyuarakan pendapat akan didengar, sementara perempuan akan dicap susah diatur atau bahkan dianggap bawel.

Ekspektasi sosial terhadap perempuan yang menggeluti ini menjadi berat bagi mereka yang menggeluti bidang ini, terlebih tidak ada sistem yang berpihak pada perempuan di industri perfilman, tidak ada cuti hamil atau pun cuti haid misalnya, sebut Hannah.

"Di industri perfilman, if we don't work, we don't eat. Kita harus memikirkan hal seperti ini. Memang tidak gampang bekerja di industri ini," ujar Hannah.

Namun, dengan adanya perempuan di jajaran stakeholder, menurut Hannah akan dapat menciptakan sistem ruang yang aman bagi para perempuan di industri perfilman.

Baca juga: Tiga sineas perempuan Asia Tenggara akan berdiskusi film horor di TIFF

Baca juga: Sebagian film dari sineas perempuan, Festival Berlin dukung kesetaraan gender

Baca juga: Dua Perempuan Guru Berkarya Sebagai Sutradara

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020