Jika media massa yang sebenarnya tidak menguasai masalah tentunya nanti akan menghasilkan kekacauan pemaknaan dan konstruksi realitas, bila tidak ada jubir yang kapabel dan kompeten
Jakarta (ANTARA) - Sosiolog yang juga Guru Besar Sosiologi Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI), Prof Iwan Gardono Sujatmiko mengatakan bahwa dalam menghadapi penyebaran virus ini dibutuhkan solidaritas masyarakat untuk bekerja bersama-sama.

"Peneguhan solidaritas harus dilakukan secara berkala melalui media massa dan media sosial berupa penjelasan berbagai lembaga kemasyarakatan dan agama yang ada. Dengan hal tersebut tentu akan meningkatkan solidaritas kebersamaan sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dan Warga Negara Indonesia. Saya rasa selama ini belum dilakukan secara optimal," ujar Iwan Gardono di Jakarta, Rabu, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA.

Selain itu, untuk menghadapi penyebaran COVID-19 ini juga perlu "aksi penjelasan" seperti fatwa dan sebagainya dari lembaga resmi semua agama baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu.

Baca juga: Lagu solidaritas korban corona dari pasangan Indonesia - Italia

Bagitu pula keterlibatan ormas-ormas keagamaan seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhamaddiyah dan sebagainya, bersama dengan lembaga kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun dari Perguruan Tinggi.

"Upaya itu harus didukung oleh media massa dan media sosial secara berkala yang mengutip dan fokus pada penjelasan-penjelasan atau ayat-ayat Non Azab. ‘Aksi Penjelasan’ ini perlu dilakukan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kota. Dan cara ini dan dilakukan secara komprehensif dan berkali-kali, maka ‘panggung’ bisa dikuasai oleh penjelasan positif," tuturnya.

Iwan mengatakan, selama ini kewaspadaan agar virus tersebut tidak makin menyebar dan tidak membuat masyarakat menjadi panik sudah dilakukan pemerintah. Namun, masih saja ada orang atau kelompok yang memperkeruh suasana dengan membuat berita atau isu negatif, khususnya di media sosial. Untuk itu peran dari organisasi teritorial mulai dari RT, RW, Babinsa TNI, Babinkamtibmas Polri harus diaktifkan terutama di daerah yang telah terpapar.

"Mereka dapat berfungsi untuk melacak orang yang telah berinteraksi atau terpapar dengan subyek COVID-19. Selain itu, penting juga kader Bela Negara yang berjumlah banyak berperan dalam kasus COVID-19 sehingga dapat terbangun ‘Pagar Betis’ baik di ranah nyata, sosial atau ranah virtual/internet. Dan ini belum dilakukan secara optimal," ujar alumni Harvard University, Amerika Serikat ini.

Baca juga: Presiden sebut solidaritas sebagai modal sosial lawan COVID-19

Iwan juga mengingatkan pentingnya literasi yang diberikan kepada masyarakat agar tidak mudah termakan isu dari berita hoaks terkait penyebaran virus tersebut. Itu penting untuk membuat masyarakat menjadi tenang. Menurutnya, salah satu cara yang efektif adalah dengan SMS Blast pada semua handphone seperti yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang isinya agar menghindari kerumunan dan antar-orang berjarak 1 meter.

"Pola ini perlu dilanjutkan dan ditingkatkan dengan pesan-pesan yang tepat. Selain itu, perlu acara debat-debat di media massa (TV, Koran) dan media sosial antar-pihak yang negatif dengan positif yang merupakan tokoh masyarakat yang dipercayai publik dan ilmuwan. Saya lihat ini juga belum dilakukan secara komprehensif dan berkala," ujarnya.

Pria yang juga anggota kelompok ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang Sosiologi ini mengatakan perlu adanya komunikasi terpusat atau tafsir konstruktif dan tersebar di seluruh Indonesia untuk membangun ketahanan dalam menghadapi masalah virus ini.

"Jika media massa yang sebenarnya tidak menguasai masalah tentunya nanti akan menghasilkan kekacauan pemaknaan dan konstruksi realitas, bila tidak ada jubir yang kapabel dan kompeten," katanya.

Baca juga: Masyarakat diimbau aktif jadi relawan pejuang perangi COVID-19

Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020