Denpasar (ANTARA) - Beberapa minggu belakangan, masyarakat digemparkan dengan pemberitaan terkait dengan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi predator seksual di negeri orang.

Kota tempat kejadian perkara merupakan kota modern yang sebagian besar wilayahnya dilengkapi dengan metode pengawasan canggih menggunakan jaringan CCTV (kamera pengintai).

Rekaman CCTV berisi adegan saat pelaku sedang beraksi mencari mangsa, diperkuat dengan ribuan video rekaman pribadi pelaku saat melakukan tindak kejahatannya, menjadi barang bukti dalam proses peradilan.

Atas perbuatannya, pelaku Reynhard Sinaga yang kelahiran Jambi pada tahun 1983 itu, kini dihukum seumur hidup dengan masa hukuman minimal 30 tahun berada di penjara oleh Pengadilan Manchester, Inggris, pada tanggal 6 Januari 2020.

Baca juga: Perlunya efek jera bagi predator seksual

Polisi Inggris sendiri telah menyatakan terdapat sekitar 195 korban Reynhard berdasarkan bukti rekaman video. Dari jumlah tersebut, 70 korban di antaranya belum dapat diidentifikasi. Sebagian besar korban Reynhard Sinaga merupakan pria heteroseksual yang dijumpai di klub-klub malam.

Di sebagian rekaman, Reynhard tampak meniduri para pria muda yang tidak sadar. Atas dasar itulah pengadilan tidak menerima pembelaan Reynhard Sinaga bahwa hubungan yang dilakukan atas dasar "suka sama suka" (sexual consent), bukan pemerkosaan.

Kini, pelaku sudah ditangkap dan dipenjara, namun bagi ratusan orang yang terlanjur menjadi korban; masalah belum selesai. Sekalipun video yang menjadi barang bukti mungkin tak sampai beredar, gemparnya pemberitaan tentang kejadian itu turut membuat titik terburuk dalam hidup mereka selamanya dan terekam dalam jejak digital.

Jika berefleksi dari kejadian tersebut, akan terlihat bahwa kecanggihan teknologi tidak selalu berhasil membuat pelaku kejahatan mengurungkan niatnya. Bahkan, ada banyak celah dalam kemajuan teknologi yang rentan dimanfaatkan oleh predator untuk mencari mangsa.

Berkaca dari kasus yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017, misalnya, kepolisian Indonesia menguak adanya jaringan predator online lintas negara beranggotakan lebih dari 7.000 orang di media sosial facebook (FB).

Pada tahun 2018, seorang mantan guru mengaji di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, yang dihukum karena kasus pedofilia kembali beraksi dengan memanfaatkan instagram dari balik jeruji penjara. Tidak hanya itu, pada tahun 2019, Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Subdit Cyber Crime, pun dapat mengungkap modus pencarian korban di bawah umur oleh predator seksual yang memanfaatkan game online.

Baca juga: LPAI : Anak korban pelecehan seksual cenderung jadi predator seks

Baca juga: ECPAT: Anak-anak menjadi sasaran pelaku kejahatan seksual daring


Waktu Bersama Anak

Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk melindungi anak-anak pada zaman yang serbadigital dan online ini? Tidak perlu mengambil tindakan ekstrem dengan memutus hubungan internet dan sama sekali melarang anak-anak untuk menggunakan gadget (gawai).

Perlindungan untuk anak-anak bisa dimulai dengan dua hal sederhana, namun penting, yakni pantau dan kontrol akses internet, lalu habiskan waktu bersama anak-anak. Mudah, bukan? Langkah riilnya terserah kepada para orang tua.

Perlu diingat, pemahaman anak-anak terhadap internet bisa berbeda, bergantung pada usia mereka. Alangkah baiknya jika orang tua paham betul akan batasan usia untuk pemakaian aplikasi tertentu, seperti media sosial.

Jika memutuskan untuk tetap menggunakannya, pastikan anak-anak tahu sejak dini terkait dengan materi informasi serta informasi apa saja yang boleh dibagi dan dipertunjukkan kepada orang lain maupun tidak.

Jika terbiasa mengajak mereka berinteraksi menggunakan gawai dan media sosial, perhatikan batasan-batasan apa saja yang perlu diajarkan kepada mereka. Pertimbangkan dulu empat hal sebelum anak-anak atau siapapun untuk unggah foto yang biasanya dilakukan spontan, yakni bolehkah diajak berfoto atau diambil fotonya oleh orang selain keluarga? Pose seperti apa yang boleh? Bolehkah dipegang? Kalau boleh pun di bagian mana saja?

Baca juga: Polisi sebut ABG tersangka pencabulan di Bogor kelainan seksual

Baca juga: Menteri PPPA tegaskan hukuman kebiri sudah final dan mengikat


Pertimbangan-pertimbangan itu penting mengingat banyak sekali kegiatan yang bukan untuk konsumsi publik (misalnya, memandikan anak). Jika sudah diunggah ke media sosial, hal ini perlu dicermati sebelum menjadi sesal di kemudian hari. Ada baiknya sejak awal ditentukan aturan kapan dan bagaimana anak dapat berinteraksi dengan orang lain, baik secara offline maupun online.

Selain memantau akses internet, langkah yang juga penting bagi orang tua adalah habiskan waktu bersama anak-anak. Beberapa dari orang tua terbiasa abai, merasa sudah aman saat melihat anak asyik dengan gawainya, padahal dalam jangka panjang kebiasaan ini bisa berbahaya jika tidak diimbangi dengan pemahaman orang tua akan kebiasaan anak yang rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak berniat buruk.

Oleh sebab itu, sesibuk apa pun orang tua, orang tua tetap perlu mengusahakan untuk mengenali dan memahami aktivitas online apa saja yang disukai anaknya. Bangun rasa saling percaya dan terbuka dengan menikmati hal-hal seru bersama-sama.

Baca juga: LPSK nilai hukuman kepada predator anak belum optimal diterapkan

Jika memungkinkan, minta mereka mengajari cara memainkan atau menunjukkan sesuatu yang menjadi favorit mereka. Apabila bisa menikmatinya bersama orang tua sendiri, niscaya akan mengurangi risiko anak-anak mencari sumber kenyamanan informasi dari pihak luar.

Dua kiat itu cukup sederhana, bukan? Semuanya kembali kepada para orang tua.

*) Penulis adalah konsultan kehumasan dan pemerhati media yang tinggal di Surabaya.

Copyright © ANTARA 2020