Pontianak (ANTARA) - Direktur Lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, Anton P Widjaya menyatakan, penebangan hutan oleh satu perusahaan tambang di Desa Tayan, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalbar diduga kuat tidak mengantongi izin atau ilegal.

"Pembukaan hutan oleh perusahaan tambang harus terlebih dahulu mengantongi izin pemanfaatan kayu (IPK)," kata Anton P Widjaya di Pontianak, Rabu.

Baca juga: Walhi desak tindak tegas semua korporasi lahan konsesi terbakar

Ia menjelaskan, apalagi Dinas Kehutanan Kalbar mengeluarkan tiga surat yang sangat kontraproduktif dan tidak saling menguatkan. Jika melihat surat Dinas Kehutanan Kalbar yang dikeluarkan terakhir kali, menyebutkan bahwa belum ada proses survei ataupun pemberian rekomendasi.

"Adanya tiga surat itu, menguatkan dugaan, ada proses penerbitan perizinan yang dipotong, agar kemudian perusahaan tambang itu bisa beraktivitas membuka lahan. Dimana faktanya pada surat terakhir mementahkan dari surat yang telah dikeluarkan sebelumnya," ungkapnya.

Sehingga, menurut dia klarifikasi dari Dinas Kehutanan Kalbar sangat penting, agar kemudian kasus beroperasinya perusahaan yang diduga ilegal ini bisa terungkap, seperti apakah ada dugaan permainan di lapangan dan penyalahgunaan wewenang.

"Sehingga apa yang terjadi di Tayan itu, harus menjadi catatan serius pihak kepolisian untuk melakukan penegakan hukum, terkait apakah ada penyalahgunaan wewenang pejabat daerah. Mengingat kasus-kasus seperti itu sering terjadi namun belum ada satupun yang betul-betul dilakukan penyelidikan dan penyidikan hingga pada proses pengadilan," katanya.

Apalagi dari temuan KPK ada sekitar 60 persen di Indonesia itu tidak memiliki NPWP atau tidak ada setoran untuk negara, salah satunya terjadi di Kalbar. "Kami berharap kasus tersebut bisa menjadi perhatian Gubernur Kalbar sehingga tata kelola tambang di Kalbar ke depannya bisa lebih baik lagi," ujarnya.

Baca juga: WALHI Kalbar minta presiden hentikan upaya pendirian PLTN

Sementara itu, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP), Utama Priyadi mengatakan, selama ini pihaknya tidak pernah menerima permintaan pertimbangan teknis dari Dishut Kalbar terkait dengan aktivitas land clearing tersebut. Sesuai Permen Lingkungan Hidup No. 62/2015 tentang Izin Pemanfaatan Hutan, sebelum izin IPK itu dikeluarkan oleh Dishut, maka mereka harus meminta pertimbangan teknis dari BPHP utamanya mengenai status lahan dan kemampuan finansial perusahaan.

"Setiap izin-izin yang memanfaatkan hasil hutan, harus terlebih dahulu diukur oleh tenaga teknis, seperti perhitungan besar kayu dan menetapkan validitasnya. Dari pengukuran itu, akan di-upload di sistem informasi perizinan usaha hasil hutan, yang nantinya akan muncul berapa yang harus dibayar perusahaan ke negara. Tapi kami dalam hal ini tidak pernah menerima permohonan teknis tersebut dari Dishut Kalbar,” ujarnya.

Sebelumnya, perusahaan tambang di Kabupaten Sanggau diduga lakukan pembabatan hutan secara ilegal di Desa Tayan, Kecamatan Meliau, untuk pembukaan jalan perusahaan sepanjang 20 kilometer, sejak Agustus 2018. Kegiatan tanpa izin itu, terungkap dari video yang diunggah di akun instagram warung jurnalis pada Senin, 28 Oktober lalu. Video berdurasi satu menit empat detik itu memperlihatkan bagaimana alat berat milik perusahaan menebang pohon-pohon di kawasan areal penggunaan lain (APL).

Baca juga: Pengawasan kawasan hutan lindung di Bengkayang terkendala personel

Sebelumnya, Plt Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar, Untad Darmawan mengatakan, bahwa sebelum perusahaan melakukan aktivitasnya, mereka sudah pernah berkonsultasi dengan pihaknya untuk menanyakan apakah kawasan yang akan mereka garap untuk jalan perusahaan masuk (APL) atau bukan.

"Menurut peta kami kawasan yang konsultasikan perusahaan itu masuk APL, karena kawasannya di APL, maka kewenangan yang mengeluarkan izin bukan di Dinas Kehutanan, akan tetapi karena pembukaan jalan itu berada di kawasan yang berpotensi adanya tegakkan kayu, maka seharusnya sebelum dilakukan penebangan didahului dengan perhitungan berapa retribusi yang harus dibayar perusahaan kepada negara. Masalahnya kami belum sempat mendata, berapa potensinya," katanya.

Seharusnya, menurut dia, sebelum kegiatan itu dilakukan, ada permohonan perhitungan, tetapi sampai saat ini, belum ada permohonan pengajuan pertimbangan teknis, Sehingga pihaknya tidak tahu berapa potensi yang ada di APL tersebut.

"Terkait izin land clearing yang dikeluarkan Dinas Kehutanan, Februari 2019, akan kami lakukan pengecekan terlebih dahulu," ujarnya.

Baca juga: LSM laporkan pembalakan liar puluhan pohon sonokeling di Tulungagung

Pewarta: Andilala dan Slamet Ardiansyah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019