Jakarta (ANTARA) - Konsultan properti Colliers International memperkirakan tingkat hunian perkantoran di kawasan DKI Jakarta bakal menurun pada kuartal IV-2019 ini karena semakin banyaknya pasokan gedung perkantoran, sedangkan permintaan untuk itu tidak melonjak.

"Tambahan pasok perkantoran baru menyebabkan tingkat hunian diperkirakan turun di kuartal IV-2019," kata Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, di Jakarta, Rabu.

Menurut Ferry, permintaan dan proses mencari ruang kantor di ibu kota sebenarnya terus terjadi, namun aktivitas transaksi mendapatkan ruang perkantoran masih rendah.

Baca juga: Konsultan: 70 persen mal akan berada di Bodetabek

Ia juga mengungkapkan bahwa berbagai perusahaan yang masih aktif untuk berekspansi adalah jenis perusahaan berbasis teknologi digital dan telekomunikasi.

Berdasarkan data dari Colliers, total pasokan perkantoran di Central Business District (CBD) atau kawasan pusat bisnis di Jakarta adalah sebanyak 6,7 juta meter persegi, dan sebanyak 1,2 juta meter persegi masih belum terserap di kuartal III-2019.

Untuk CBD sendiri, total serapan y-o-y diperkirakan turun sekitar 10 persen pada periode 2019-2020. Sedangkan di luar CBD, pasokan baru perkantoran diperkirakan bakal terbatas mulai tahun 2020.

Baca juga: "E-commerce" dinilai tidak terlalu berdampak kepada kinerja mal

"Namun limpahan ruang yang belum terserap menyebabkan tingkat hunian cenderung stabil di 2020," katanya.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mendorong pemerintah meningkatkan insentif fiskal selain relaksasi ketentuan rasio nilai pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV) untuk mendongkrak sektor properti.

"Properti itu banyak dinamika, selain suku bunga, juga permintaan dan pasokan, sarana prasarana misalnya listrik dan akses, itu semua satu paket, makanya sisi fiskal juga perlu didorong," katanya di Jakarta, Jumat (20/9).

Menurut dia, Bank Indonesia berupaya menggeliatkan sektor properti yang perlu ditingkatkan dengan cara mengeluarkan kebijakan penurunan LTV untuk uang muka kredit properti sebesar lima persen.

Upaya itu, lanjut dia, diambil bank sentral di tengah situasi ekonomi global saat ini melesu dan beberapa negara dibayangi resesi ekonomi sehingga turut berdampak khususnya kepada sektor investasi jangka menengah-panjang seperti properti.

"Dengan angka penurunan belum banyak itu sepertinya belum cukup signifikan mendorong properti, bukan karena (suku) bunga tapi karena di sisi properti, situasinya melemah," imbuh alumni pascasarjana Universitas Indonesia itu.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019