Kami berempat "nyelip" ke pesawat yang ada. Pokoknya waktu itu yang penting kami bisa keluar dari Papua
Kualasimpang, Aceh (ANTARA) - Lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyatakan bahwa sebanyak empat warga Aceh Tenggara, Provinsi Aceh yang menjadi korban kerusuhan yang terjadi di Wamena, Provinsi Papua, kini ditampung sementara di Kota Malang, Jawa Timur.

"Mereka, yakni Friska Sitohang (30), Natael Gultom (3,5), Nasya (8 bulan), dan Trisesi Sitohang (26). Kini mereka semuanya dalam pendampingan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Malang," kata Humas ACT Aceh, Zulfurqan saat dihubungi di Kualasimpang, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa keempat orang yang ikut mengalami dampak dari kerusuhan di Wamena tersebut berasal dari Desa Lawe Sigala Timur, Kecamatan Lawe Sigala Gala, Aceh Tenggara.

Menurut keterangan dari Kepala Cabang ACT Malang Diki Taufik Sidik, katanya, mereka tiba dengan menumpangi pesawat Hercules milik TNI-AU di Malang, Rabu (2/10).

"Alhamdulillah, mereka dalam kondisi sehat. Tetapi hingga kini masih kebingungan," ujar Zulfurqan mengutip Diki.

Ia mengaku, sebenarnya pesawat Hercules ditumpangi warga berasal dari kabupaten yang terkenal dengan julukan "Bumi Sepakat Segenep" tersebut bertujuan menjemput warga asal Provinsi Jawa Timur.

Akibat panik, lanjut dia, mereka lantas menaiki pesawat yang tersedia saat itu untuk bisa segera keluar dari Wamena.

Kemudian, pemerintah daerah di Malang meminta ACT setempat mendampingi mereka agar bisa pulang ke kampung halaman. Keempat warga itu ditempatkan di penginapan milik Dinas Sosial Malang, sebelum dipulangkan ke Aceh Tenggara.

Friska Sitohang ketika dihubungi ACT Aceh mengaku, mereka sudah menetap di Wamena sejak tahun 2013. Suaminya, Apner Gultom (33), berprofesi sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN) Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Wamena yang hingga kini masih berada di sana.

"Kami berempat nyelip ke pesawat yang ada. Pokoknya waktu itu yang penting kami bisa keluar dari Papua," katanya.

"Suami saya ASN di sana, dia masih ada di sana. Kami pulang, karena benar-benar nggak ada lagi yang bisa saya harapkan di sana. Kos kosan kami dibakar, motor kami hangus sudah. Kami hanya bawa berkas-berkas penting, dan baju seadanya," katanya.

Ketika terjadinya kerusuhan, ia menceritakan, mereka bersembunyi di dalam rumah. Sedangkan massa yang datang sudah mengelilingi area tempat tinggal mereka.

Akhirnya mereka bisa keluar rumah, karena dijemput polisi yang sedang berpatroli. "Kami bersembunyi di dalam rumah, takut keluar, nantinya kami dibunuh, dibacok," katanya.

Hingga kini dirinya masih bisa berkomunikasi, dan terus menjalin komunikasi dengan suami tercinta. "Kami berpisah di Bandara Wamena. Ketika itu ibu-ibu dan anak-anak diprioritaskan lebih duluan dipulangkan," ucap Friska.

Kepala Cabang ACT Aceh, Husaini Ismail menuturkan pihaknya sudah berkomunikasi dengan Pemerintah Aceh untuk segera memulangkan keempat warga Aceh Tenggara tersebut.

"Tadi malam saya dapat kabar kalau Plt (Pelaksana tugas) Gubernur Aceh Pak Nova Iriansyah, telah meminta Dinas Sosial Aceh menjemput mereka," katanya.
 

Pesan damai mahasiswa Papua di Aceh




Ia mengatakan, penyelesaian konflik di Wamena saat ini merupakan tanggung jawab bersama. Karenanya segala pihak perlu bersinergi kuat menyelesaikan konflik yang ada, dan apalagi sekitar 10.000 orang sudah mengungsi.

"Tentunya, kondisi pengungsi harus kita perhatikan bersama agar kondisi kesehatan mereka terjaga. Kebutuhan konsumsi tercukupi, dan bagaimana memikirkan keadaan mereka yang dibakar tempat tinggalnya di Wamena," demikian Husaini Ismail.

Baca juga: Papua Terkini - Mahasiswa Papua diajak berbaur dengan masyarakat Aceh

Baca juga: JK: penanganan konflik di Aceh dan Papua berbeda meski sama-sama otsus

Baca juga: Juha: Proses perdamaian Aceh bisa diterapkan di Papua

Pewarta: Muhammad Said
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019