Indonesia memiliki beragam jenis rokok, PMK 156/2018 sudah sangat baik karena m"engakomodir keragaman jenis rokok sehingga PMK tersebut layak untuk dipertahankan. Keragaman jenis rokok tadi juga berkaitan dengan serapan tembakau dalam negeri.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (ndef) Enny Sri Hartati menilai penyederhanaan atau simplifikasi cukai dan penyesuaian harga jual eceran (HJE) berpotensi menimbulkan hilangnya produk-produk industri hasil tembakau (IHT) Indonesia yang heterogen.

Menurut dia, Indonesia memiliki produk industri hasil tembakau (IHT) yang lebih beragam sehingga lebih pas jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156/2018.

"Indonesia memiliki beragam jenis rokok, PMK 156/2018 sudah sangat baik karena mengakomodir keragaman jenis rokok sehingga PMK tersebut layak untuk dipertahankan. Keragaman jenis rokok tadi juga berkaitan dengan serapan tembakau dalam negeri," katanya Enny di Jakarta, Kamis.

Merujuk data Ditjen Bea Cukai, terjadi penurunan jumlah IHT di Indonesia pada 2007 berjumlah 4.793 IHT sedangkan 2017 berjumlah 487 IHT.

Simplifikasi cukai, lanjutnya, relevan diterapkan di berbagai negara-negara baik di Amerika dan Eropa di mana mayoritas mengonsumsi produk sigaret putih mesin (SPM), berbeda dengan Indonesia yang memiliki keragaman produk IHT.

Baca juga: Penerapan simplifikasi cukai tembakau bisa turunkan penerimaan negara

Enny mengatakan, simplifikasi cukai jika dilihat dari historisnya, dari 16 layer  terus menerus menurun hingga saat ini menjadi10. Menurut, itu sudah sederhana, tidak perlu disederhanakan lagi.

Sementara itu terkait rencana pemerintah menggabungkan golongan sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM), menurut dia, hal itu merupakan kebijakan yang tidak pas dan tidak harus dipaksakan.

Enny mengusulkan perlunya alternatif kebijakan struktur cukai hasil tembakau yang berkeadilan, dengan memerhatikan tiga hal utama yakni dari sisi tenaga kerja. Untuk golongan sigaret kretek tangan (SKT) yang menyerap tenaga kerja (padat karya), perlu adanya afirmatif kebijakan dan insentif bagi pelaku IHT SKT.

"SKT mendapatkan cukai hasil tembakau (CHT) lebih rendah daripada SKM maupun SPM. Kemudian, besarnya penyerapan tenaga kerja dapat dimasukkan menyusun struktur CHT," katanya.

Kemudian, nilai budaya dan kekhasan, tambahnya, hasil tembakau menjadi salah satu nilai budaya Indonesia yang perlu dirawat agar terus terjaga.

Selain itu, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) menjadi hal yang wajib dalam mendukung terciptanya produk nasional dan membatasi komponen impor dalam produk yang tercipta.

Dalam TKDN IHT, aspek yang dapat dihitung sebagai bahan baku yaitu hasil tembakau yang diperoleh, mesin yang digunakan dalam memproses dan tenaga kerja yang berperan dalam proses produksi.

Meskipun 80 persen perusahaan yang berada dalam IHT memiliki tenaga kerja berasal dari dalam negeri namun komponen bahan baku dan alat kerja masih didominasi oleh impor.

"TKDN akan mampu mengurangi peningkatan impor tembakau, dan melindungi petani tembakau," tegasnya.
Baca juga: INDEF: Penurunan suku bunga acuan dongkrak sektor konsumsi

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019