Borobudur (ANTARA News) - Hingga saat ini, belum diketahui alasan secara pasti penutupan terhadap relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. "Terus terang kami belum mengetahui alasannya kenapa relief itu ditutup," kata peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, Endang Sri Hardiati, di sela seminar bertajuk "Uncovering The Meaning of The Hidden Base of Candi Borobudur" di Magelang, Rabu. Ia mengatakan, banyak peneliti dan sarjana berpandangan bahwa penutupan relief itu semata-mata untuk menjaga agar candi yang terdiri atas sekitar dua juta batu itu kondisinya tetap stabil. Jika bagian relief Karmawibhangga yang terdiri 160 panel itu terbuka, kata dia, dikhawatirkan candi bisa ambles. Relief Karmawibhangga ditemukan pada tahun 1885 oleh warga Belanda, Y.W. Ijzerman. Pada tahun 1890-1891, penutup relief dibongkar dan diteliti oleh Ijzerman, sementara Cephas memotret relief itu. Kemudian, foto-fotonya dibukukan sekitar tahun 1931. Buku asli itu kini berada di Museum Nasional, Jakarta. Ia mengatakan, negatif foto asli relief itu statusnya milik pemerintah Belanda, dan hingga sekarang berada di Museum Tropen, Amsterdam, Belanda. Hingga saat ini, kata Endang Sri Hardiati, penelitian tentang misteri relief tersebut mengandalkan foto-foto yang ada di buku yang berada di Museum Nasional, Jakarta. "Kami juga membuat repro dari foto-foto di buku itu," katanya. Ia menceritakan seorang pejabat Jepang pada masa penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1943, tertarik melihat relief tersebut karena beredar isu bahwa relief itu berupa gambar-gambar tentang situasi neraka. Batu penutup relief di bagian tenggara lantas dibongkar. Namun, karena penutupan kembali tidak sempurna sehingga banyak batu yang tercecer. Hingga saat ini, kata dia, terdapat tiga panel di relief bagian tenggara dalam kondisi terbuka. Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Edi Sedyawati mengemukakan, relief Karmawibhangga menggambarkan kehidupan masyarakat saat candi itu dibangun sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra. "Relief itu juga bisa menjadi informasi tentang kondisi masyarakat saat itu," katanya. Selain itu, kata dia, relief itu menggambarkan ajaran menyangkut hukum sebab dan akibat.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008