Jakarta (ANTARA) - Dua puluh lima orang peserta di dalam ruangan tersebut sibuk memilih jawaban terbaik dari pre-test yang disuguhkan dari laptop atau komputer jinjing masing-masing.

Pertanyaan yang harus diselesaikan adalah istilah-istilah hukum korupsi serta nilai-nilai antikorupsi yang kerap muncul di masyarakat tapi bila dijadikan pertanyaan, belum tentu semua punya pemahaman sama.

Mereka yang tepat dan cepat menjawab pertanyaan akan memperoleh skor paling besar, sebaliknya peserta yang pura-pura paham dan akhirnya salah memilih langsung turun peringkatnya. Naik-turunnya peringkat langsung terlihat dari tampilan layar proyektor.

Ke-25 orang tersebut adalah peserta Diklat Persiapan Sertifikasi Penyuluh Antikorupsi yang diselenggarakan oleh Pusat Edukasi Antikorupsi (Anti Corruption Learning Center atau ACLC) KPK pada pertengahan September 2019 lalu. Mereka bukanlah pegawai KPK melainkan masyarakat umum yang punya kepedulian terhadap gerakan antikorupsi dan ingin mengambil peran sebagai penyuluh antikorupsi.

Asal peserta pun dari berbagai daerah di Indonesia seperti Blitar, Balikpapan, Jambi, Mandailing, Sumedang, Kediri, Medan, Bandung dan Jakarta. Ragam pekerjaan juga tak kalah bervariasi ada yang menjadi inspektorat pemerintah daerah, guru PPKn, pengacara, karyawan legal BUMN, pegawai LSM dan lainnya.

Persoalannya, meski ingin berkontribusi dalam gerakan antikorupsi, para peserta tidak hanya membutuhkan semangat tanpa batas tapi juga harus memiliki pemahaman, keterampilan dan profesionalitas untuk menyebarkan nilai-nilai antikorupsi dan praktik kesehariannya secara terstrukur.

Diklat yang diadakan oleh ACLC secara gratis tersebut mempersiapkan para calon penyuluh antikorupsi punya keterampilan yang dibutuhkan.

Percakapan korupsi
"Saya tidak pernah korupsi, karena saya tidak pernah merugikan keuangan negara. Saya juga kecewa karena KPK melakukan OTT terhadap bupati dan gubernur saya padahal mereka orang baik dan sejak dulu memang kaya," kata salah satu peserta yang berprofesi sebagai pengacara di kelas.

Peserta lain pun mulai ribut mendengar pendapat tersebut. Tangan-tangan segera menunjuk ke udara, meminta waktu untuk berpendapat apa itu sesungguhnya korupsi.

Apakah korupsi hanya soal mengambil uang negara? Apakah suap kepada penyelenggara negara juga masuk perbuatan korup? Apakah seorang guru yang menerima hadiah dari orang tua murid termasuk korupsi? Apakah meminta sesuatu selaku auditor kepada pihak yang terperiksa termasuk korupsi? Apakah tidak tepat waktu itu korup?

Hal-hal mendasar tersebut lantas bergantian dijelaskan oleh 6 (enam) orang fasilitator yang sudah bersertifikat penyuluh kepada peserta.

Dalam penjelasannya, ternyata ada 30 delik tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, perbuatan itu dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

Dampak dari korupsi pun bukan hanya merugikan keuangan negara atau lazim disebut sebagai biaya eksplisit korupsi yaitu nilai uang yang dikorupsi.

Korupsi pun menimbulkan biaya-biaya lainnya yaitu biaya antisipasi korupsi (biaya sosialisasi dan pencegahan korupsi), biaya reaksi korupsi (biaya peradilan, penyidikan, proses eksekusi dan proses hukum lainnya) serta biaya oportunis implisi korupsi (biaya akibat korupsi yang harus ditanggung generasi mendatang atau biaya yang seharusnya tidak terjadi bila tidak ada korupsi).

Perhitungan ketiga biaya tersebut jarang diketahui masyarakat.

Mendapatkan pengetahuan baru tersebut, sejumlah peserta diklat tampak mengangguk-angguk.

Fasilitator lantas melontarkan pertanyaan lanjutan: mengapa pemberantasan korupsi masih terkendala?

Tanpa menunggu jawaban para peserta, slide presentasi pun menampilkan sebab-sebabnya yaitu masih rendahnya political will pemerintah, masyarakat sendiri masih bersikap permisif, sistem kepegawaian yang belum mendukung pegawain berintegritas, sistem kuangan dan anggaran yang mendukung operasional pada lembaga penegak hukum secara penuh, masih belum terciptanya sinergi yang baik di antara penegak hukum maupun lembaga pengawas yang ada serta corruptors fightback.

Sekali lagi para peserta mengangguk-angguk setuju.

"Ya memang tantangan kita adalah sistem yang belum sempurna dan bahkan pimpinan sendiri, saya pun di sekolah pernah mengalami kendala itu," tutur guru MTSn 4 Blitar Sumartono.

Kendala yang dimaksud Sumartono, misalnya, dalam pembagian tunjangan sertifikasi guru dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Namun pada praktiknya ada atasan yang tetap mendapat tunjangan meski syarat tidak dipenuhi, di sisi lain ada guru yang tidak bekerja tiga hari tapi tunjangannya tidak keluar sama sekali. Apa yang harus dilakukan?

Peserta diklat lain juga melontarkan pertanyaan menggelitik. Bagaimana melaporkan penerimaan gratifikasi tanpa harus menciptakan kegaduhan? Khususnya di daerah, aparat yang melaporkan hadiah terkait jabatan kerap dicap "sok bersih" dan malah menciptakan kegaduhan yang tak perlu. Bagaimana mengakalinya?

Diskusi-diskusi terhadap kendala keseharian itu juga meluncur deras di kelas. Semua saling memberi masukan tanpa harus merasa paling benar dan mempertahankan kebenaran versinya.

Tugas penyuluh antikorupsi memang bukan hanya mengatakan tidak pada korupsi, tapi benar-benar bersikap tidak korup dan menyebarkan virus antikorupsi tersebut.

Untuk apa penyuluh?
Lantas bila pada kenyataannya para penyuluh juga belum "sempurna" dalam menjalankan praktik antikorupsi apakah mereka layak menyuluh soal antikorupsi? Mengapa KPK mendorong munculnya penyuluh-penyuluh antikorupsi?

Laman https://aclc.kpk.go.id/ menjelaskan sejak 2016, KPK melalui Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) merancang dan menerapkan sistem sertifikasi kompetensi untuk berbagai profesi yang ada di sektor antikorupsi yang dimulai dengan jabatan penyuluh antikorupsi.

Ada tiga cara pemberantasan korupsi yaitu pertama melalui penindakan sehingga mendorong masyarakat takut korupsi, kedua melalui program pencegahan sehingga masyarakat tidak bisa korupsi dan ketiga melalui pendidikan serta peran serta masyarakat sehingga masyarakat tidak ingin korupsi. Penyuluh antikorupsi mengambil peran di jalan ketiga.

KPK mengaku butuh minimal 7.000 penyuluh tersertifikasi untuk memberikan penyuluhan tentang antikorupsi di 34 provinsi dan ratusan kabupaten kota di Indonesia. Namun, sejauh ini KPK baru memiliki 341 Penyuluh Antikorupsi (PAK) bersertifikat.

Melalui sertifikasi, artinya ada standarisasi kompetensi agar pelaksanaan penyuluhan dan tata kelola organisasi lebih efektif dan efisien. Sertifikasi juga merupakan salah satu bentuk pengakuan dan
apresiasi KPK atas partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi melalui pencegahan.

Para peserta yang dinyatakan kompeten sebagai Penyuluh Antikorupsi melakukan kegiatan penyuluhan antikorupsi di lingkungan atau organisasi atau tempat kerjanya masing-masing sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Penyuluh Antikorupsi.

Meski bukan berstatus sebagai karyawan KPK, para penyuluh ini akan dipantau secara ketat oleh tim Lembaga Sertifikasi KPK. Jika di kemudian hari mereka diketahui mereka melakukan pelanggaran kode etik sertifikat tersebut akan dicabut. Usia sertifikat ini juga hanya tiga tahun, setiap tiga tahun mereka yang telah bersertifikat akan dites ulang.

Para penyuluh ini tidak digaji oleh KPK, namun penyuluh tetap diperbolehkan menerima honor jika pihak yang mengundang memiliki anggaran. Batasan berapa honor yang bisa diterima tergantung dari lembaga asal penyuluh.

Ada 7 keterampilan dasar yang harus dimiliki seorang Penyuluh Antikorupsi, yaitu merencanakan penyuluhan, mengorganisasikan penyuluhan, melaksanakan penyuluhan, mengevaluasi kegiatan penyuluhan, membuat laporan kegiatan, menerapkan Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dalam penyuluhan dan menangani konflik yang muncul dalam kegiatan penyuluhan.

Para penyuluh pun punya tiga jenjang yaitu jenjang pratama sebagai tingkat awal, jenjang madya dan jenjang utama. Pada tingkat utama, penyuluh diharapkan dapat menggerakkan masyarakat untuk menjadi agen perubahan dan menjadi teladan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Pada akhir program, para peserta diminta untuk membuat micro teaching atau kondisi seolah-olah melakukan penyuluhan sesungguhnya kepada masyarakat. Peserta pun diminta untuk menyerahkan 15 dokumen syarat agar dapat mendapatkan sertifikat diklat penyuluh antikorupsi.

Namun, menyelesaikan diklat bukan otomatis menjadikan mereka sebagai penyuluh tersertifikasi, tetapi hanya menolong para peserta terlatih menyiapkan dokumen dan mempersiapkan materi untuk penilaian (assessment) demi mendapat sertifikat "penyuluh muda".

Di sela-sela diklat selama seminggu di gedung ACLC KPK, sejumlah peserta juga menyempatkan diri untuk berkunjung secara mandiri ke Gedung Merah Putih KPK yang hanya berjarak sekitar 550 meter dari gedung ACLC.

Kebetulan pertengahan September tersebut gedung Merah Putih ramai dikunjungi massa demonstran, baik mereka yang mendukung maupun menolak revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK.

Agenda awal peserta diklat adalah foto-foto kemudian berubah menjadi saksi mata sekaligus ikut mendokumentasikan pernyataan tiga orang pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang pada 12 September 2019 mengenai proses revisi UU KPK yang berjalan tertutup. Sayangnya meski dikritik banyak pihak, DPR tetap mengesahkan revisi UU KPK pada 17 September 2019.

Undang-undang pemberantasan korupsi dianggap telah direvisi dengan cara yang korup.

"Orang-orang yang melakukan korupsi hari ini adalah produk pendidikan masa lalu. Kalau kita tidak mengubah cara pendidikan saat ini, visi Indonesia 2045 bisa tidak tercapai," ujar salah satu peserta diklat, Guru SMPN 1 Cimalaka Sumedang Tia Setiawati yang bersemangat memasukkan pemahaman korupsi kepada para anak didiknya itu.

Masa kini memang hasil dari proses masa lalu dan masa depan pun akibat dari masa kini. Jadi apa yang generasi saat ini ingin wariskan kepada generasi masa depan khususnya bidang pemberantasan korupsi?

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019