Manokwari (ANTARA) - Indonesia, negeri kita tercinta, sejatinya baru lepas dari kegaduhan yang berlebihan selama proses politik berlangsung, berkenaan dengan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Pesta demokrasi telah usai, intensitas kegaduhan, terutama di media sosial mengalami penurunan drastis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Semestinya, pilpres sudah menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih – Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin --, juga para caleg yang duduk di kursi parlemen nasional dan lokal periode 2019-2024 melalui pileg, kegaduhan kian reda.

Ternyata, generalisasi atas tesis di atas terbantahkan. Secara kuantitatif narasi-narasi yang memancing dan memantik kegaduhan berkurang. Namun, secara kualitatif, mengalami peningkatan bobot dan resiko.

Memprihatinkan. Karena tak jarang narasi yang memicu kegaduhan itu, datang dari kaum cerdik pandai. Melontarkan kata-kata tak senonoh, barangkali menyenangkan si pelontar, bahkan mungkin mengalami fatamorgana psikologis, tetapi apa jadinya, jika itu menyangkut harga diri orang lain?

Kerusuhan Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat, pada Senin kelabu (19/8), menjadi bukti kuat, betapa martabat dan harga diri orang atau sekelompok orang tidak bisa menjadi bahan bernarasi secara serampangan, apalagi -- maaf -- menyebut-nyebut nama binatang.

Betapapun ras melanesia yang mendiami sebagian besar wilayah bagian timur Indonesia, dari NTT, Maluku, Maluku Utara, hingga Papua dan Papua Barat, adalah orang-orang berkulit hitam dan merambut keriting, mereka adalah manusia, ciptaan Tuhan.

Ras melanesia, betapapun hitam, legam dan keriting, tetaplah manusia berdarah merah dan bertulang putih, memiliki naluri, intelektualitas dan akal budi sebagaimana manusia lain. Perilaku mereka, adalah perilaku manusia. Bisa senyum, tertawa, gembira, menangis, sedih ,marah bahkan meradang.

Karena itu, patutlah dipahami, bilamana masyarakat di Tanah Papua merasa diejek dan ejekan itu menyentuh wilayah paling sensitif. Harkat dan martabat.

Emosipun membuncah. Apalagi, narasi-narasi yang tidak tersaring di medsos terus membanjiri jagat maya dan mengalami bias. Puncaknya, demonstrasi besar-besaran di Manokwari. Tindakan anarkis, terutama penusakan fasilitas pribadi dan publik tak terhindarkan.

Manusia yang kalap, tidak akan takut mati. Itulah yang tampak dari para demonstran, meskipun sejumlah pejabat penting di daerah itu, terjun langsung ke tengah massa untuk meredam situasi.

Tak kurang dari Kapolda Papua Barat, Brigjen Pol, Herry R. Nahak, Wakil Gubernur, Mohamad Lakotani, harus menembus blokade jalan untuk bisa menjumpai para demontsran yang kalap.

“Saya memahami rasa sakit yang dialami masyarakat di sini. Saya pun, sebagai aparat yang bertugas di Papua Barat ikut merasakannya,”kata jenderal polisi berpangkat bintang satu itu, ketika berupaya menenangkan massa melalui pendekatan empati.

Namun, karena demo itu dilakukan secara sporadis dan memiliki tingkat keseriusan yang sama antara lokasi satu dengan yang lain, berapapun jumlah aparat dikerahkan, tetap saja mengalami kesulitan. Apalagi, Polda Papua Barat baru berumur seumur jagung. Artinya, jumlah personel masih terbatas untuk bisa mengatasi massa yang beringas.

Hindari korban jiwa

Karena itu, pendekatan yang dikedepankan aparat keamanan pada demo hari Senin di Manokwari, patut dipahami. Meskipun banyak bangunan pribadi dan publik hancur, sejumlah toko dijarah, ATM dikuras dan dibakar, namun tak ada darah manusia yang tercecer. Tak ada satu pun korban jiwa.

Aparat keamanan, tampaknya, menyadari betul, bahwa ketika harus berhadap-hadapan dengan para demonstran secara tegas, maka korban tak terhindarkan. Pendekatan persuasif menjadi sangat penting dan berhasil menyelamatkan situasi , di mana emosi massa tersalurkan tanpa korban jiwa.

Demonstrasi sekitar 10 jam sejak pagi hingga jelang maghrib, betapapun destruktif, tetaplah mengingatkan kita semua, bahwa saling menghargai satu sama lain, adalah hakekat manusia dan kemanusiaan. Tutur dan lakon, sebisa mungkin dijaga, bukannya diumbar, karena dari sanalah tolok ukur sebagai manusia beradab bisa dinilai.

Dari peristiwa ini, kita juga memetik pelajaran, bahwa mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah tindakan manusia sejati. Dan, jika itu dilakukan oleh seorang pemimpin, maka dialah pemimpin sejati. Itulah, yang dilakukan Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansah.

Permintaan maaf yang disampaikan Gubernur Jatim, seorang perempuan, tentulah berhati lembut, yang kemudian diberitakan secara luas oleh media massa, sedikit banyak mempengaruhi situasi. Tentu, kontribusi lain dari banyak pihak untuk menyudahi demonstrasi juga harus kita akui.

Demikian pula Wali Kota Malang, Sutiaji, dengan jiwa besar menyampaikan permintaan maaf atas perlakuan yang kurang patut kepada mahasiswa Papua. Permintaan maaf dari dua pejabat di Jawa Timur, mencerminkan sikap sebagai sesama manusia dan sesama anak negeri yang mengaku khilaf dan keliru.

Bahkan, muncul gagasan, akan lebih bagus jika Gubernur Jatim dan Wali Kota Malang, berkunjung ke Manokwari, guna berbicara dari hati ke hati dengan masyarakat dan tokoh-tokoh Papua Barat, demi sebuah kepentingan yang lebih besar, yakni merajut kebersamaan yang terkoyak.

Di Manokwari, seorang tokoh masyarakat adat dari suku Arfak yang menguasai ulayat di wilayah Manokwari Raya meliputi Kabupaten Manokwari, Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak, Drs. Nathaniel Mandacan, sehari setelah kerusuhan, langsung mengajak para pejabat tingkat provinsi untuk melakukan pembersihan kota dari puing-puing kehancuran.

Kepada pers, Nathaniel yang juga menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Papua Barat itu berujar, “Sebagai pemilik Manokwari, kami meminta masyarakat untuk biarlah apa yang terjadi kemarin (kerusuhan pada Senin) hilang bersama bergantinya malam”.

“Apa yang terjadi kemarin itu, biarlah berlalu. Mari kita urus kota ini dengan baik,” katanya sambil menambahkan, ASN, TNI dan Polri, terus menjadi motor penggerak pembersihan kota. Karena jalan-jalan utama tidak saja diperlukan untuk kepentingan mobilitas sosial masyarakat, tetapi juga menjadi urat nadi perekonomian.

Dari pernyataan Kapolda Papua Barat, permintaan maaf Gubernur Jatim dan ajakan tokoh masyarakat,  Nathaniel Mandacan, juga sikap masyarakat Papua Barat hingga Papua yang juga menggelar aksi damai melibatkan massa dalam jumlah besar di Jayapura, kita memetik pelajaran yang amat berharga. Jagalah narasi.

Sehari setelah Manokwari, muncul kericuhan di Sorong pada Selasa malam (20/8) diikuti Fakfak pada Rabu pagi (21/8).

Dari rangkaian peristiwa ini, kita patut merenung, soal kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Pada era digital lakon dan narasi harus dijaga. Kata-kata yang diucapkan, sikap yang diperlihatkan, mudah tersebar melalui media sosial yang kadang ditelan secara mentah dan memicu kegaduhan, sosial, politik dan keamanan.

Sebagai bangsa multi-kultur, potensi konflik memang selalu ada, sebagaimana diingatkan sosiolog Zainudin Maliki, pengajar pada Univesitas Gadjah Mada yang menyarankan, perlunya wawasan kebangsaan yang dibangun di atas pendekatan yang mengakui lokalitas dan partikularitas.

Atau dengan kata lain, membangun kesatuan di tengah keragaman, bukan membangun kesatuan menafikan keaneka-ragaman. Terminologi aneka-ragam inilah, menuntut berbagai pihak di negeri ini, untuk saling memahami dan merawat rasa kebersamaan sebagai sebuah bangsa.

Dari sinilah, barangkali Indonesia bisa mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul, sebagaimana digelorakan Presiden Jokowi.

Baca juga: Pengamat: Kerusuhan di Papua bukan akibat rasisme

Baca juga: Pemerintah diminta berhati-hati selesaikan masalah Papua

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019