Saya sih melihat (pidato Presiden) untuk semuanya (penegak hukum), tapi wajar kalau kemudian dihubungkan dengan KPK. Karena KPK selalu heboh ketika menangani perkara korupsi
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai wajar pidato kenegaraan Presiden Jokowi terkait ukuran pemberantasan korupsi dianggap menyindir kinerja KPK karena lembaga ini yang dinilai paling heboh dalam penanganan kasus korupsi.

"Saya sih melihat (pidato Presiden) untuk semuanya (penegak hukum), tapi wajar kalau kemudian dihubungkan dengan KPK. Karena KPK selalu heboh ketika menangani perkara korupsi," kata Arsul di Jakarta, Selasa.

Dalam pidato kenegaraan di Sidang Bersama DPR dan DPD, Presiden Jokowi menyatakan pemberantasan korupsi jangan hanya diukur dari jumlah kasus dan jumlah orang yang dipenjarakan, tetapi diukur dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.

Baca juga: Anggota DPR nilai pidato kenegaraan Jokowi kritik kinerja KPK

Menurut Arsul, pidato tersebut menunjukkan kegelisahan Presiden Jokowi karena kehebohan penanganan korupsi oleh KPK tidak berbanding lurus dengan penyelamatan aset negara oleh lembaga tersebut. Apalagi, biaya penanganan per kasus oleh KPK lebih besar dibanding Polri dan Kejaksaan.

"Tidak bisa dimungkiri, (kegelisahan) ini juga yang dirasakan oleh Presiden. Terlebih anggarannya (KPK) lebih besar per satuan penanganan kasus korupsi dibanding dua penegak hukum yang lain," ujar Arsul.

Baca juga: Pansel KPK setuju pendapat Jokowi ukuran pemberantasan korupsi diubah

​Dalam laporan Capaian dan Kinerja KPK Tahun 2018 yang dilansir website atau laman resmi KPK tertulis pada 2018 KPK melakukan sebanyak 28 OTT atau yang terbanyak sepanjang sejarah berdirinya lembaga tersebut, dengan penyelamatan uang negara sebesar Rp500 miliar. Sementara anggaran yang diserap KPK di tahun yang sama, lebih besar dari uang negara yang diselamatkan, yakni Rp744,7 miliar.

Sementara penyelamatan uang negara oleh Polri dari kasus korupsi jauh lebih tinggi dari KPK, yakni Rp2,3 triliun pada 2018. Kemudian di tahun yang sama, Kejaksaan menyelamatkan Rp326 miliar.

Untuk itu, Arsul menambahkan, Presiden Jokowi ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik penegak hukum mau pun elemen masyarakat sipil, untuk sama-sama mengubah ukuran dan paradigma pemberantasan korupsi. Dari parameter memenjarakan sebanyak-banyaknya dan seberat-beratnya orang menjadi menyelamatkan sebesar-besarnya uang negara.

"Tidak berarti kemudian hukuman penjaranya diringankan. Tapi kalau kita cuma ramai dengan hukuman penjara, sementara melupakan aspek recovery (pengembalian) atau remedialnya (perbaikan), ya, makanya korupsi tinggal korupsi," ujarnya.

Arsul tidak memungkiri paradigma lama hukuman seberat-beratnya bagi pelaku korupsi selama ini terus ditanamkan oleh LSM ke benak masyarakat, tanpa pernah mempersoalkan aspek penyelamatan atau pengembalian uang negara.

"LSM macam ICW itu kan selalu menyorotinya tentang berat ringannya hukuman pidana, bukan soal recovery-nya, bukan soal remedial atas kerugian negara itu," tutur Arsul.

Faktanya, menurut Arsul, hukuman berat yang diharapkan menimbulkan efek jera tidak terjadi, korupsi tetap marak.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019