Mataram (ANTARA) - Sejumlah aktivis LSM menilai progres percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan rumah tahan gempa pascasetahun gempa di Nusa Tenggara Barat dinilai berjalan lambat oleh sejumlah kalangan di provinsi itu.

Aktivis LSM, yakni Aliansi masyarakat sipil untuk pemulihan bencana gempa bumi NTB yang terdiri dari Walhi NTB, Gravitasi, Education Consultant Counceling Career (EC3), Masyarakat Adat Sasak (MAS) dan Yayasan Sheep Indonesia memandang perlu ada evaluasi dan pembenahan secara menyeluruh dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa oleh pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota terdampak.

"Kami melihat hingga saat ini proses rehabilitasi dan rekonstruksi hunian berjalan sangat lambat. Di Lombok Utara sebagai lokasi terparah saja capaiannya baru 20 persen," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, Murdhani di Mataram, Jumat.

Ia mengungkapkan, ada sejumlah masalah sehingga proses rehabilitasi  dan rekonstruksi  tersebut berjalan lambat, yakni mulai data yang tidak akurat, keberadaan fasilitator dan aplikator serta kelompok masyarakat (Pokmas) yang bermasalah serta standar bahan bangunan yang tidak mengakomodasi sumber daya lokal.

"Fasilitator, aplikator dan Pokmas yang nakal harus ditindak tegas. Begitu juga bahan bangunan dan desain hunian diusahakan harus mengakomodir sumber daya lokal," katanya pada diskusi refleksi satu tahun gempa bumi di NTB.

Murdhani menyatakan, kalaupun ada progresnya cepat hanya baru kota Mataram dan Sumbawa Barat. Sementara, daerah lain yang juga terdampak gempa seperti Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur progresnya tidak signifikan.

"Jangankan mengatasi soal mitigasi membahas rehabilitasi saja kita masih belum bisa. Siapkan fasilitator saja kita tidak siap," ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Gravitasi, Ahyar Supriadi, juga melihat pengerjaan pembangunan rumah tahan gempa (RTG) belum signifikan, sehingga banyak masyarakat yang terdampak gempa masih harus tinggal di luar rumah.

Ia menyontohkan, di Kabupaten Lombok Utara (KLU) dari 75 ribu lebih rumah yang rusak akibat guncangan gempa baru 2.691 unit yang terbangun. Padahal, gempa sudah berlangsung satu tahun.

"Wajar akhirnya publik bertanya-tanya kenapa yang baru dikerjakan 2.691 unit atau 40 persen. Selebihnya diapakan ini belum jelas dari Pemprov NTB," ungkapnya.

Selain itu, kata dia, masalah terbesar dari pembangunan RTG tersebut persoalan administrasi yang tidak ada habisnya. Mulai dari persoalan nama penerima, pokmas, double nama penerima. Belum lagi persoalan fasilitator yang kurang, bahan bangunan langka, tukang bangunan minim dan masalah-masalah lainnya.

"Jadi perlu ada validasi data yang tepat mengingat anggaran yang dikeluarkan dari pembangunan RTG ini menyangkut keuangan negara, sehingga harus dipertanggungjawabkan secara benar kepada rakyat. Begitu juga diperlukan penambahan fasilitator dan jangan lagi kita ribut soal penerima data ganda seperti pada pemilu," kata Supriadi.

Karena itu, terkait banyak masalah tersebut, pihaknya pun mendorong agar Pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah kabupaten/kota terdampak gempa segera melakukan evaluasi dan koordinasi cepat terhadap masalah yang terjadi di lapangan sehingga percepatan pembangunan RTG bisa dituntaskan.

"Kami berharap BPBD NTB bisa lebih kreatif menyampaikan progres RTG dan Jaminan Hidup (Jadup), sehingga dibelakang hari tidak ada masalah," katanya.

Baca juga: Sumbawa Barat terima Rp109,3 miliar untuk rekonstruksi pascagempa
Baca juga: BNPB targetkan rehab rekon Lombok tuntas 2020
Baca juga: ITB lakukan upaya rehabilitasi pasca gempa Lombok


Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019