Jakarta (ANTARA) - Adaptasi layar lebar komik "Gundala" ciptaan mendiang Harya Suraminata alias Hasmi bukan hanya akan jadi kado untuk pencinta pahlawan super lokal, melainkan juga pembuka jalan memperluas genre perfilman Indonesia yang didominasi drama dan horor.

"Gundala", tayang pada 29 Agustus 2019, akan jadi pintu masuk untuk Jagat Sinema Bumilangit berisi jagoan dan jawara dari cerita-cerita klasik Indonesia; "Sri Asih" hingga "Si Buta dari Gua Hantu".

Sebelumnya, sutradara Lilik Sudjio pada 1981 pernah membuat versi film "Gundala" dengan Teddy Purba sebagai pemeran utama. Anna Tairas jadi Minarti, kekasih Sancaka, sementara aktor W.D. Mochtar berakting sebagai musuh bebuyutan Gundala, Ghazul.

Perjalanan menghadirkan tokoh fiksi yang muncul pada 1969 ini ke dalam film berlatar belakang modern penuh lika-liku.

Nama Hanung Bramantyo sudah pernah disebut bakal duduk di bangku sutradara pada 2014.

Baca juga: Sosok Gundala di mata Hanung dan Hasmi

Baca juga: Komikus "Gundala Putra Petir" Hasmi tutup usia


Tapi tak ada kabar terbaru tentang film "Gundala", bahkan ketika Hasmi menghembuskan nafas terakhir pada 2016.

Dua tahun berselang, sutradara Joko Anwar mengumumkan akan menggarap kisah "Gundala".

Production Manager BumiLangit Studios --perusahaan hiburan berbasis karakter yang jadi "rumah" untuk Gundala-- Imansyah Lubis menuturkan karena satu dan lain hal, rencana mewujudkan karya Hasmi ke layar lebar bersama Hanung batal.

"Kami sudah mengobrol dengan beberapa sutradara lain (setelah Hanung), tapi ternyata jodohnya dengan Joko Anwar," tutur Imansyah pada ANTARA saat ditemui di kantor BumiLangit, Jakarta.

Kesamaan visi kreatif jadi landasan kerjasama antara dua pihak untuk memperkenalkan Gundala Putra Petir pada penonton muda yang tidak familier dengan karya Hasmi, juga menawarkan nostalgia untuk penikmat komik-komik lawas.

Baca juga: Film "Gundala" syuting di 70 lokasi

Bangkitkan komik klasik

Sebelum memutuskan untuk membuat film "Gundala", BumiLangit Studio yang berdiri sejak 2003 memusatkan fokus untuk mengakuisisi naskah komik-komik klasik, mengurus hak cipta dan menyelamatkan lembaran-lembaran rapuh komik lawas ke dalam versi digital.

"Butuh waktu panjang karena karakter yang terkait ada banyak dan pendaftaran harus dilakukan satu demi satu," ujarnya.

Soal hak cipta, pihaknya juga harus meminta izin pada para ahli waris terkait para komikus yang sudah tiada.

"Baru setelah 10 tahun kami merasa 'amunisi' sudah cukup untuk membuat sesuatu," kata Imansyah.
 
Production Manager BumiLangit Studios Imansyah Lubis di kantor BumiLangit, Jakarta. (ANTARA News/ Nanien Yuniar)



Ada lebih dari 1.100 kekayaan intelektual (intellectual property) yang bernaung di bawah BumiLangit. "Gundala", "Sri Asih" dan "Si Buta dari Gua Hantu" masuk ke dalam kategori "super intellectual property" karena kepopulerannya. Itu juga alasan mengapa "Gundala" menjadi lokomotif dari Jagat Sinema Bumilangit.

Jagat Sinema Bumilangit merupakan produksi Bumilangit Studios, Screenplay Film bekerja sama dengan Legacy Pictures dan Ideosource Entertainment.

BumiLangit menyerahkan urusan produksi pada Screenplay Film yang lebih berpengalaman. Baru-baru ini, rumah produksi tersebut sudah menelurkan film "Sebelum Iblis Menjemput", "The Night Comes For Us", "Orang Kaya Baru" dan "Hit & Run".

"Tugas kami adalah menjaga agar 'roh' komiknya tidak hilang dan tetap terasa dalam film," ujar dia.

Nilai-nilai dasar "Gundala" juga dipastikan takkan hilang meski melalui proses alih wahana yang pasti menuntut perubahan di sana-sini.

Proses penggodokan naskah berlangsung dinamis dan seru karena melibatkan orang-orang yang mencintai komik tersebut.

"Sama-sama berpikir bagaimana agar jadi lebih bagus. Memang pada dasarnya nerd at heart, rasanya kondusif," seloroh dia.

Banyak rahasia dari film yang akan diputar di program Midnight Madness Festival Film Internasional Toronto 2019 ini, termasuk soal biaya produksi yang digelontorkan.

Film-film bertema pahlawan super biasanya diwarnai efek-efek visual spesial yang mengambil porsi besar dari pendanaan.

Imansyah hanya mengungkapkan biaya pembuatan film jauh lebih sedikit dari produksi film-film Amerika Serikat.

"Lebih kecil dibanding film AS yang sampai triliunan dolar AS," ujar dia seraya tertawa.

Dia berharap "Gundala" bisa diterima banyak kalangan, dari anak-anak hingga dewasa.

Salah satu strategi mereka agar tayangan ini bisa dinikmati keluarga adalah memotong adegan tertentu sehingga rating 17 yang tadinya disematkan berubah jadi rating 13+.

Peluang komik jadi film

Film "Avengers: Endgame" membuktikan keberhasilan Marvel dalam menumbuhkan rasa cinta penonton pahlawan super lewat jalinan film-film lepasan yang dimulai dari "Iron Man".

Orang-orang yang sudah tenggelam ke dalam cerita suguhan Marvel Cinematic Universe rela duduk manis selama tiga jam di bioskop untuk melihat pertempuran mahadahsyat antara Thanos dengan para jagoan mereka.

Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, di mana sebagian bioskop menggelar pemutaran dini hari, sesuai dengan jam pemutaran di negara asalnya.

Kesuksesan di level global berhasil membuat "Avengers: Endgame" jadi film terlaris sepanjang masa, menggeser posisi "Avatar".

"Gundala" adalah langkah kecil untuk membuka jagat pahlawan super - BumiLangit lebih suka menyebutnya jagoan- di Tanah Air.

"Kans komik superhero Indonesia buat jadi film bagus banget. Yang punya IP superhero di Indonesia itu banyak dan pasti ingin karyanya dijadikan film," ucap Imansyah.

Para pemilik karakter pahlawan super Indonesia saling mendukung untuk membangun ekosistem kondusif agar mereka sama-sama bisa berkembang.

Kendala utama dari adaptasi komik menjadi film adalah dana. Ketika biaya lebih mahal, investor juga berpikir panjang karena risikonya tak kalah besar. Terutama bila belum ada contoh sukses dari genre pahlawan super lokal.

"Yang sekarang Gundala kan jadi pionir... Ada beban tambahan juga," Imansyah tertawa. "Untungnya mental kami sudah siap, kami akan menyajikan yang terbaik yang bisa kami kasih."

Mereka tidak mau berlindung di balik jargon "karya anak bangsa" sebagai dalih bila hasilnya tak sesuai ekspektasi.

Di sisi lain, pihak kreator atau pemilik IP juga punya tugas untuk membuat karakter yang "matang" sehingga dilirik oleh produser dan investor untuk alih wahana.

Aswin Siregar, produser film pahlawan super "Valentine", juga menyatakan dana jadi tantangan terbesar dalam memproduksi film bergenre itu karena biaya membuat Computer Generated Imagery alias CGI itu mahal.

"Garap film superhero apalagi based on komik itu susahnya minta ampun. Film action saja susah, apalagi superhero yang sangat imajinatif, enggak bisa main-main," ujar Aswin.

Dia pernah mengalami pengalaman pahit, film "Valentine" ditarik beberapa hari setelah beredar karena hasilnya tidak maksimal. Ada kendala teknis dalam memproses efek spesial komputer sehingga hasil akhirnya jauh dari yang diharapkan.

"Valentine" yang sisi teknisnya sudah diperbaiki akhirnya tayang dalam pemutaran terbatas pada April lalu.

Aswin mengaku tak sabar menyaksikan "Gundala" dan berharap kesuksesannya bakal memancing film-film sejenis untuk menghiasi layar bioskop.
 
Gundala (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Promosi gencar dan sinergi

Belum ada rumus jelas dalam membuat film Indonesia yang dijamin sukses. Ada film yang bertabur bintang dari rumah produksi ternama, tapi tanggapannya biasa-biasa saja. Ada film yang tadinya dianggap remeh tapi mendapat penonton jutaan.

Promosi dan sinergi jadi strategi "Gundala" untuk menciptakan rumus sendiri.

Para pemeran rajin "menyapa" masyarakat lewat aktivitas di sana-sini. Mereka ke stasiun MRT sampai mampir ke festival musik.

Tapi promosi bukan cuma mengandalkan aktor dan aktris papan atas, melainkan media lain seperti animasi, buku komik hingga komik versi online yang dibaca di Line Webtoon.

Komik "Gundala" punya wajah yang berbeda-beda. Ada yang menggemaskan untuk anak-anak, mirip komik Jepang (manga) untuk penikmat komik yang terbiasa dengan cerita-cerita asal Negeri Sakura dan komik yang diadaptasi dari filmnya.

Komik yang ceritanya diambil dari plot film akan dibuat oleh kawakan Ardian Syaf dan terbit berdekatan dengan tanggal penayangan.

Versi komik web berjudul "Gundala: Son of Lightning" terbit di Line Webtoon dan dapat dibaca lewat handphone. Komik dengan cerita berbeda dari film ini dibuat oleh duet Is Yuniarto, komikus "Garudayana" dan GM Bumilangit Komik, sebagai Lead Artist dan Sweta Kartika sebagai penulis.

"Kami berusaha menghadirkan karakter klasik pada generasi baru yang mungkin lebih paham dengan komik-komik dari luar negeri," ungkap Is saat dihubungi ANTARA.

Komik "Gundala" adalah kesempatan bagus untuk merebut hati pencinta komik pahlawan super karena ada nilai lebih yang ditawarkan, cerita yang dekat di hati dan relevan.

Baca juga: Cerita Hasmi "Gundala" dedikasikan hidup untuk komik

Pasar pembaca komik pahlawan super dari Indonesia dirasa sudah siap karena penikmat budaya populer Tanah Air sudah terpapar dengan kisah-kisah serupa dari Barat.

Tak cuma itu, perkembangan komik yang pesat selama dua tahun terakhir juga membuat ilustrator asal Surabaya itu semakin optimistis. Kualitas seniman-seniman Indonesia yang berkecimpung di dunia komik juga tak perlu diragukan.

Is salah satunya. Komikus yang mengangkat kisah pewayangan dengan gaya kontemporer ini juga bekerjasama dengan Disney membuat wayang kulit tokoh "Avengers" yang diberikan langsung pada sutradara dan aktor-aktor "Avengers: Infinity War" pada 2018.

"Ada banyak rekan di Jakarta, Bandung dan Surabaya yang bekerja untuk Marvel dan DC. Dari segi kualitas sudah mumpuni," imbuh Is yang baru mengikuti Hongkong International Licensing Expo 2019.

Dalam beberapa bulan terakhir, penerbit komik m&c! sudah menerbitkan tujuh judul komik pahlawan super lokal, yakni "Si Buta Dari Gua Hantu Mata Malaikat", "Si Buta Dari Gua Hantu Sapu Jagad", "Aquanus: Sang Pewaris 1", "Patriot Dalam Prahara 1", "Patriot Dalam Prahara 2", "Patriot Cilik: Gundala Putra Petir" dan "Gundala Remastered".

"Pada 2018 di bawah imprint 'koloni', m&c! bekerjasama dengan BumiLangit Comics untuk menerbitkan kembali genre komik superhero lokal di pasaran," ujar redaksi.

Persentase komik pahlawan super berkisar 10 persen dari total komik lokal.

"Patriot: Prahara" sudah menembus angka penjualan 1500 eksemplar. Komik itu berkisah mengenai kumpulan adisatria terbaik Nusantara, ibarat Avengers versi pahlawan Indonesia.

Redaksi m&c! mengungkapkan kepada ANTARA bahwa genre pahlawan super adalah salah satu yang paling disukai pembaca komik lokal. Sebelumnya mereka pernah menerbitkan komik-komik serupa dari Amerika Serikat, namun penjualan dihentikan karena permintaan royalti yang tinggi membuat harga jual bakal meroket.
 


Baca juga: "Gundala" tembus Festival Film Internasional Toronto 2019

Baca juga: "Hail Gundala" dari band rock Bandung Glosalia jadi lagu film Gundala

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019