"Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak" peribahasa itu saat ini tengah dialami oleh para petani di Kotabaru, Kalimantan Selatan, khususnya petani cabai.

Sejak pertengahan 2010, sejumlah petani di daerah itu hampir berputus asa untuk tidak akan menanam cabai, karena hasil panen cabai dibeli pedagang hanya seharga Rp10.000 - Rp12.000 per kg.

Padahal dalam kondisi normal, harga cabai di pasar harian dan pasar tradisional di daerah itu kisaran Rp30.000 per kilogram.

Harga jual tersebut, menurut petani cabai asal Bumi Asih, Kotabaru, Sukiman, tidak dapat menutupi biaya tanam, perawatan kebun dan pemupukan. 
Akibat rendahnya harga cabai tersebut juga membuat beberapa petani yang masih satu daerah dengan Sukiman, berniat untuk membabat tanaman cabainya untuk diganti dengan tanaman jagung manis, karena harga jualnya lebih baik dan stabil.

Ngatining, istri Sukiman mengaku, kapok untuk menanam cabai, dia ingin menanam jagung manis dan sayur-mayur, karena selama bertanam cabai harganya tidak pernah stabil. Sedangkan harga jagung muda dan sayuran relatif stabil.

Dia juga menuturkan, selama bercocok tanam cabai di Bumi Asih, tidak pernah menjual cabai seharga Rp30.000 per kg, yang sering dialami hanya dibawah Rp15.000 per kg.

Karena rendahnya harga jual tersebut, waktu memanen terakhir tiba, petani asal Lamongan, Jawa Timur itu enggan memetik cabai yang telah berwarna merah, karena upah memetik Rp50.000 per orang tidak dapat ditutupi dari hasil jual cabainya.

Sejak saat itu, petani di Bumi Asih dan beberapa daerah yang lainnya tidak lagi menanam cabai, tetapi mereka lebih memilih menanam terung, bayam, buncis, pare, dan timun.   
    Lain lagi dengan keluarga Dasim, perantau asal Lamongan, yang baru datang ke Kotabaru sekitar akhir 2010, tidak pernah menanggapi cerita tetangganya yang kapok menanam cabai.

Dasim bapak dari empat orang anak itu mencoba membuka lahan di Bumi Asih seluas dua hektare, untuk ditanami padi, palawija termasuk didalamnya cabai.

Khusus untuk cabai, Dasim menyediakan lahan sekitar seperdelapan hekatre atau sekitar 1.250 m2.

Lahan cabai tersebut tepat berada di lereng sawah yang kini ditanami padi unggul, Cisadane, yang cukup tersedia air untuk menyirami tanaman cabai.

Cabai tersebut ditanam Dasim dibantu istrinya yang bernama Sholikhah, dan anak-anaknya sekitar akhir November 2010 lalu.

"Alhamdulillah, sudah sepuluh hari ini cabai tersebut mulai bisa dipanen," terang Sholikhah.

Wanita yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar itu tidak pernah menyangka, bahwa harga cabai akan menembus harga Rp250.000 per kg.   
    Meski harga cabai dipasaran menembus harga tertinggi sekitar Rp250.000 per kg, namun Sholikhah menjual cabainya kepada pedagang pengumpul sekitar Rp50.000 per kg.

"Maklum cabai kami tidak banyak yang merah, sehingga harganya lebih murah dibandingkan dengan cabai asal Surabaya, Sulawesi yang hampir semuanya warna merah," terangnya.

Sholikhah bersama suaminya sangat bersyukur, karena cabainya setip tiga hari sekali bisa dipanen, dan hasilnya mencapai ratusan ribu rupiah.

Bahkan karena mahalnya harga cabai tersebut, lebih sepekan ini Sholikah dan suaminya tidak pernah ke kebun, karena cabainya dipanen langsung oleh pedagang pengumpul yang selama ini menjadi langganannya.

Keluarga sederhana itu mengaku sangat percaya kepada langganannya itu, karena selama ini ia juga telah banyak dibantu oleh pedagang sembako tersebut.

Untuk mengisi waktu ke kebun, Dasim, Sholikah dan anak terakhirnya, Hasan Bisri, pergi ke tempat keluarganya di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu dengan menggunakan sebagin hasil panen cabai.

Sementara hasil penjualan cabai direncanankan dikumpulkan untuk membeli pupuk dan memperbaiki dinding rumahnya yang sudah mulai berlubang dan lapuk karena dimakan usia.

Sebagian hasil panen cabai juga disisihkan untuk membeli kayu ulin dan kawat untuk memagari kebunnya yang sesekali didatangi babi hutan.

Babi hutan tersebut, menurut keluarga itu paling suka merusak tanaman jagung dan singkong.

Oleh sebab itu, ia berniat memagari kebunya dengan kayu dan kawat berduri.   
Dasim juga mengaku akan memperluas tanaman cabainya, karena kini di daerahnya banyak petani yang mulai menyemai biji cabai rawet.

Ia optimistis, harga cabai tetap akan lebih baik dari harga palawija seperti jagung, dan sayur-mayur.

"Di Kotabaru berbeda dengan di Pulau Jawa, dimana di Pulau Jawa sudah banyak petani, sementara di Kotabaru sangat minim," terangnya.

Kami tetap yakin bahwa harga cabai tetap akan lebih baik dari hasil palawija, tambahnya.

Terlebih sejak tahun baru 2011, harga cabai menembus harga diatas Rp200.000 per kg.

Sholikah mengaku sejak menjadi petani, khususnya selama menanam cabai, baru kali ini merasakan maninya bertani cabai.

   
      Buka lahan
Dengan melambungnya harga cabai di wilayah Bumi Antasari Kalimantan Selatan, membuat pemerintah provinsi setempat langsung sigap dengan merencanakan membuka lahan khusus untuk tanaman cabai.

Kepala Dinas Pertanian Kalsel Sriyono di Banjarmasin, Rabu (5/1) mengatakan, pemerintah berencana menambah luas lahan cabai seluas 75 hektare, untuk mengantisipasi lonjakan harga cabai yang kini mencapai Rp100 ribu per kilogram.

Pembukaan lahan baru untuk pertanian cabai tersebut di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, dan Kota Banjarbaru masing-masing 25 hektare.

Sementara itu, lahan pertanian cabai yang telah produksi seluas 601 hektare di daerah itu telah berproduksi sekitar 3.200 ton atau sekitar 20-30 persen dari kebutuhan cabai Kalsel.

Dia menuturkan, saat ini 70 persen kebutuhan pokok Kalsel termasuk cabai dan sayur mayur masih tergantung dengan Pulau Jawa dan beberapa provinsi lainnya.

Akibatnya, harga kebutuhan pokok di Kalsel sering mengalami fluktuasi harga cukup signifikan, terutama pada musim hujan atau gelombang tinggi.(Imm/A)

Pewarta:

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2011