PT PLN (Persero) berhasil menerapkan co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara pada 28 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total energi hijau yang dihasilkan 96.061 MWh hingga Februari 2022.
Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan (EBT) PT PLN, Wiluyo Kusdwiharto menyatakan pencapaian tersebut menjadi bukti keseriusan PLN dalam mendukung program transisi energi bersih menuju carbon neutral pada 2060 dan juga menjadi komitmen Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
"Pengunaan teknologi co-firing di PLTU merupakan salah satu upaya kami dalam mengurangi emisi di sektor kelistrikan, di samping menambah pembangkit baru yang berasal dari energi baru terbarukan," ujarnya, melalui rilis dilaporkan Kamis.
PLN telah menggunakan teknologi co-firing sejak 2020 silam. Sebanyak 28 PLTU sudah menerapkan co-firing ini, antara lain PLTU Suralaya dan PLTU Paiton yang merupakan backbone kelistrikan Jawa dan Bali.
Pembangkit-pembangkit tersebut, jelas dia, memanfaatkan limbah serbuk kayu atau sawdust, woodchip , dan SRF (solid recovered fuel) berasal dari sampah sebagai pengganti batu bara untuk bahan bakar.
Hingga Februari 2022, kebutuhan biomassa untuk bahan bakar PLTU mencapai 89.111 ton.
Emisi karbon dan ekonomi
Sepanjang 2021, dia mengklaim, total emisi karbon yang berhasil ditekan melalui cofiring ini sebesar 268 ribu ton Co2.
"Sementara pada Januari-Februari 2022, angka penurunan emisinya sekitar 96 ribu ton Co2," ungkap Wiluyo
Teknologi co-firing diterapkan PLN tidak sekedar mengurangi emisi, kata dia, melalui pemberdayaan masyarakat, teknologi co-firing itu juga mengajak masyarakat terlibat aktif dalam penanaman tanaman biomassa bahkan ada pula yang mengelola sampah rumah tangga wilayahnya untuk dijadikan pelet untuk bahan baku co-firing.
"Teknologi ini bukan hanya sekedar pengurangan emisi, tetapi ada unsur ekonomi sirkular yang mengolah limbah menjadi sesuatu yang lebih bernilai dan meningkatkan efisiensi," jelasnya.
Kata Wiluyo, masyarakat bisa untuk turut berpartisipasi dalam pemilahan sampah ataupun pemberdayaan tanaman energi yang akan diolah untuk bahan baku co-firing.
Co-firing itu, kata dia, juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon, sebab program co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa, kata dia.
"Program ini ditargetkan rata-rata menggunakan 10-20 persen dari kapasitas PLTU PLN untuk co-firing atau ekivalen sekitar 2.700 MW," ujarnya.
Target
Program co-firing itu terus dilakukan PLN sampai paling tidak 52 titik PLTU bisa menggunakan teknologi ini.
Untuk bisa memastikan pasokan co-firing ini, secara jangka panjang, kata dia, PLN juga melakukan kerja sama dengan Perhutani dan PTPN. Hingga 2025, PLN membutuhkan kurang lebih 10,2 juta ton biomassa untuk menjadi substitusi 10 persen kebutuhan batu bara di PLTU.
Melalui kerja sama dengan sesama BUMN itu, jelas Wiluyo, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa.
"Sebagai pilot project, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa PLTU Pelabuhan Ratu sebesar 11.500 ton per tahun," ujarnya.
Selanjutnya, PLTU Rembang, Perhutani akan memasok 14.300 ton per tahun serbuk kayu kaliandra dan gamal. Melalui skema bisnis yang sama, Perhutani akan membangun pabrik pengolahan di wilayah Rembang.
Sedangkan PTPN Group mengestimasikan dapat menyuplai 500 ribu ton tandan kosong segar kepada PLN dan angka tersebut dapat berkembang hingga 750 ribu ton tankos segar per tahun pada 2024 sesuai dengan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) PTPN Group.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022