Otoritas kesehatan di Prancis belum lama ini menemukan varian virus corona baru bernama "le variant breton" di wilayah Brittany yang menurut mereka lebih sulit dideteksi walau tampaknya tak lebih berbahaya atau menular.
Direktur penyedia layanan kesehatan ARS regional, Stephane Mulliez dalam sebuah konferensi pers mengatakan, temuan ini berasal dari delapan orang lansia yang menunjukkan gejala umum COVID-19 tetapi tes polymerase chain reaction (PCR) memperlihatkan hasil negatif. Padahal, tes yang memanfaatkan usap hidung ini biasanya sangat akurat.
Setelah tim medis melakukan pengujian lebih lanjut yakni memanfaatkan sampel darah serta lendir dari saluran pernapasan yang lebih dalam barulah pasien itu diketahui terkonfirmasi COVID-19.
Menurut direktur regional badan kesehatan nasional Sante Publique Prancis, Alain Tertre, seperti dikutip dari Medical X Press, Selasa, satu kemungkinannya, virus menyebar lebih cepat antara saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah.
Menyoroti temuan ini, Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, diagnosis positif baru muncul setelah pasien diperiksa jaringan paru-parunya dan ini tidak mudah.
Baca juga: Pemerintah koordinasi laboratorium teliti mutasi virus corona
"PCR test biasa kita pakai untuk memastikan seseorang sakit atau tidak. Untuk kasus-kasus di Prancis ini mereka baru dipastikan sakit sesudah dilakukan pemeriksaan mendalam darah dan bahkan jaringan paru-paru nya, suatu pemeriksaan yang amat tidak mudah dilakukan," kata dia dalam pesan elektroniknya, ditulis Selasa.
Tes PCR sendiri dilakukan untuk mendeteksi materi genetik khusus SARS-CoV-2 atau organisme apa pun. Tes ini dianggap sangat akurat (dibandingkan dengan tes lain) dan mendeteksi jenis virus apa pun.
Sebenarnya, ini bukan varian pertama yang mampu menghindari pengujian. Peneliti Finlandia pada Februari lalu mengidentifikasi strain bernama Fin-796H dengan mutasi yang membuatnya sulit dideteksi dengan beberapa tes usap hidung juga.
Ketidakmampuan untuk secara akurat mendiagnosis orang yang terinfeksi, memunculkan dugaan PCR tak akan lagi ampuh mendeteksi COVID-19 termasuk pada seseorang yang mengalami gejala.
Walau begitu, salah satu perusahaan diagnosa Eropa, Novacyt Group, mengumumkan tes PCR-nya berhasil mendeteksi varian baru.
"Sekarang tentu PCR masih gold standard, dan belum perlu modifikasi apa-apa. Ini laporan awal tentang perkembangan yang ada, kita lihat dulu bagaimana perkembangannya nanti," kata Tjandra.
Baca juga: Indonesia tutup pintu bagi WNA semua negara mulai 1 Januari 2021
"Tentu kita belum tahu bagaimana perkembangan mutasi 'le variant breton' ini selanjutnya, tetapi kalau memang nantinya keampuhan tes PCR jadi benar-benar terganggu maka tentu dunia akan menghadapi babak baru dan tantangan cukup berat untuk mendiagnosis COVID-19," imbuh dia.
"le variant breton" tak lebih mematikan dari varian lain
Media Prancis, LaDepeche melaporkan, delapan pasien yang terinfeksi varian baru virus corona meninggal. Walau begitu, pejabat kesehatan setempat mengatakan hal ini tidak berarti itu varian baru lebih mematikan daripada jenis lainnya seperti B117 misalnya.
Kementerian Kesehatan Prancis, seperti dikutip dari Insider, menyatakan belum ada bukti jenis virus ini lebih mudah ditularkan daripada versi virus lainnya.
Menurut mereka, perlu lebih banyak penelitian untuk mencari tahu apakah varian ini bisa menghindari vaksin atau antibodi dari infeksi virus corona sebelumnya.
Profil genetik varian menunjukkan "le variant breton" tidak berbagi mutasi kunci dengan B.1.351 dan P.1, varian yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dan Brasil, yang lebih menular dan sebagian dapat menghindari vaksin.
Varian dari Brittany berada dalam satu kelompok strain dengan varian yang pertama kali terlihat di California Selatan. Varian dalam kelompok itu, bernama Clade 20C, diperkirakan merupakan seperlima dari infeksi virus corona dunia pada April, menurut Nextstrain yang melacak evolusi virus korona dari waktu ke waktu.
Lebih lanjut, terkait varian baru virus yang lebih sulit dideteksi, ARS menambahkannya ke dalam daftar varian yang sedang diselidiki (VUI) WHO, walau belum masuk kategori varian yang menjadi perhatian (VOC).
"Analisis awal tidak menunjukkan peningkatan bahaya atau penularan dibandingkan dengan virus aslinya," kata ARS dalam sebuah pernyataan.
Untuk saat ini hanya varian corona dari Inggris, Brazil dan Afrika Selatan yang masuk dalam daftar VOC, dari ratusan yang telah ditemukan para peneliti di seluruh dunia.
Langkah antisipasi
Menurut Tjandra, sementara ini ada tiga langkah antisipasi yang bisa orang-orang lakukan untuk semua jenis mutasi virus corona, termasuk "le variant breton", salah satunya meningkatkan angka pemeriksaan whole genome sequencing seperti yang dilakukan di Inggris.
Selain itu, masyarakat diharapkan tetap menerapkan protokol kesehatan yakni mengenakan masker, mencuci tangan rutin, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas.
Hal ini untuk menghindari tertular dan sakit COVID-19 sekaligus menekan penularan di masyarakat sehingga kemungkinan terjadinya mutasi juga bisa ditekan.
Tjandra juga menyarankan, surveilans atau pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi COVID-19 secara ketat untuk mendeteksi keadaan-keadaan khusus yang mungkin berhubungan dengan mutasi.
"Misalnya orang yang sudah divaksin dan lalu tetap sakit, atau sakit berat pada usia muda tanpa komorbid, terjadinya cluster berat, dan lainnya," kata Tjandra.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
Direktur penyedia layanan kesehatan ARS regional, Stephane Mulliez dalam sebuah konferensi pers mengatakan, temuan ini berasal dari delapan orang lansia yang menunjukkan gejala umum COVID-19 tetapi tes polymerase chain reaction (PCR) memperlihatkan hasil negatif. Padahal, tes yang memanfaatkan usap hidung ini biasanya sangat akurat.
Setelah tim medis melakukan pengujian lebih lanjut yakni memanfaatkan sampel darah serta lendir dari saluran pernapasan yang lebih dalam barulah pasien itu diketahui terkonfirmasi COVID-19.
Menurut direktur regional badan kesehatan nasional Sante Publique Prancis, Alain Tertre, seperti dikutip dari Medical X Press, Selasa, satu kemungkinannya, virus menyebar lebih cepat antara saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah.
Menyoroti temuan ini, Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, diagnosis positif baru muncul setelah pasien diperiksa jaringan paru-parunya dan ini tidak mudah.
Baca juga: Pemerintah koordinasi laboratorium teliti mutasi virus corona
"PCR test biasa kita pakai untuk memastikan seseorang sakit atau tidak. Untuk kasus-kasus di Prancis ini mereka baru dipastikan sakit sesudah dilakukan pemeriksaan mendalam darah dan bahkan jaringan paru-paru nya, suatu pemeriksaan yang amat tidak mudah dilakukan," kata dia dalam pesan elektroniknya, ditulis Selasa.
Tes PCR sendiri dilakukan untuk mendeteksi materi genetik khusus SARS-CoV-2 atau organisme apa pun. Tes ini dianggap sangat akurat (dibandingkan dengan tes lain) dan mendeteksi jenis virus apa pun.
Sebenarnya, ini bukan varian pertama yang mampu menghindari pengujian. Peneliti Finlandia pada Februari lalu mengidentifikasi strain bernama Fin-796H dengan mutasi yang membuatnya sulit dideteksi dengan beberapa tes usap hidung juga.
Ketidakmampuan untuk secara akurat mendiagnosis orang yang terinfeksi, memunculkan dugaan PCR tak akan lagi ampuh mendeteksi COVID-19 termasuk pada seseorang yang mengalami gejala.
Walau begitu, salah satu perusahaan diagnosa Eropa, Novacyt Group, mengumumkan tes PCR-nya berhasil mendeteksi varian baru.
"Sekarang tentu PCR masih gold standard, dan belum perlu modifikasi apa-apa. Ini laporan awal tentang perkembangan yang ada, kita lihat dulu bagaimana perkembangannya nanti," kata Tjandra.
Baca juga: Indonesia tutup pintu bagi WNA semua negara mulai 1 Januari 2021
"Tentu kita belum tahu bagaimana perkembangan mutasi 'le variant breton' ini selanjutnya, tetapi kalau memang nantinya keampuhan tes PCR jadi benar-benar terganggu maka tentu dunia akan menghadapi babak baru dan tantangan cukup berat untuk mendiagnosis COVID-19," imbuh dia.
"le variant breton" tak lebih mematikan dari varian lain
Media Prancis, LaDepeche melaporkan, delapan pasien yang terinfeksi varian baru virus corona meninggal. Walau begitu, pejabat kesehatan setempat mengatakan hal ini tidak berarti itu varian baru lebih mematikan daripada jenis lainnya seperti B117 misalnya.
Kementerian Kesehatan Prancis, seperti dikutip dari Insider, menyatakan belum ada bukti jenis virus ini lebih mudah ditularkan daripada versi virus lainnya.
Menurut mereka, perlu lebih banyak penelitian untuk mencari tahu apakah varian ini bisa menghindari vaksin atau antibodi dari infeksi virus corona sebelumnya.
Profil genetik varian menunjukkan "le variant breton" tidak berbagi mutasi kunci dengan B.1.351 dan P.1, varian yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dan Brasil, yang lebih menular dan sebagian dapat menghindari vaksin.
Varian dari Brittany berada dalam satu kelompok strain dengan varian yang pertama kali terlihat di California Selatan. Varian dalam kelompok itu, bernama Clade 20C, diperkirakan merupakan seperlima dari infeksi virus corona dunia pada April, menurut Nextstrain yang melacak evolusi virus korona dari waktu ke waktu.
Lebih lanjut, terkait varian baru virus yang lebih sulit dideteksi, ARS menambahkannya ke dalam daftar varian yang sedang diselidiki (VUI) WHO, walau belum masuk kategori varian yang menjadi perhatian (VOC).
"Analisis awal tidak menunjukkan peningkatan bahaya atau penularan dibandingkan dengan virus aslinya," kata ARS dalam sebuah pernyataan.
Untuk saat ini hanya varian corona dari Inggris, Brazil dan Afrika Selatan yang masuk dalam daftar VOC, dari ratusan yang telah ditemukan para peneliti di seluruh dunia.
Langkah antisipasi
Menurut Tjandra, sementara ini ada tiga langkah antisipasi yang bisa orang-orang lakukan untuk semua jenis mutasi virus corona, termasuk "le variant breton", salah satunya meningkatkan angka pemeriksaan whole genome sequencing seperti yang dilakukan di Inggris.
Selain itu, masyarakat diharapkan tetap menerapkan protokol kesehatan yakni mengenakan masker, mencuci tangan rutin, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas.
Hal ini untuk menghindari tertular dan sakit COVID-19 sekaligus menekan penularan di masyarakat sehingga kemungkinan terjadinya mutasi juga bisa ditekan.
Tjandra juga menyarankan, surveilans atau pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi COVID-19 secara ketat untuk mendeteksi keadaan-keadaan khusus yang mungkin berhubungan dengan mutasi.
"Misalnya orang yang sudah divaksin dan lalu tetap sakit, atau sakit berat pada usia muda tanpa komorbid, terjadinya cluster berat, dan lainnya," kata Tjandra.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021