Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, memiliki luas 147.200 hektar, sebanyak 30,92 persen dari luasan itu atau seluas 45.520 hektar diantaranya merupakan kawasan hutan.
Kawasan hutan di HST terletak pada gugusan pegunungan Meratus dengan Gunung Halau-Halau atau Gunung Besar sebagai puncak tertinggi. Gunung Halau-Halau juga merupakan yang tertinggi di Kalsel dengan ketinggian 1.892 m dpl.
Kawasan hutan di pegunungan Meratus bisa dikatakan sebagai paru-paru Kalsel. Kawasan itu memiliki arti penting karena menggambarkan tipe ekosistem hutan pegunungan yang lengkap.
Kawasan itu juga merupakan daerah tangkapan air serta memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang sangat tinggi bila dibandingkan kawasan hutan lainnya di Kalsel, sekaligus sebagai habitat 44 jenis fauna yang dilindungi.
Jenis flora dan fauna yang hidup di kawasan itu memiliki tingkat endemitinggi. Kawasan Meratus juga kaya areal karst dengan gua alam dan air terjun. Selain itu, hutan alam Agathis terakhir di Kalsel, berada di Meratus.
"Arti pentingnya kawasan hutan Meratus, memicu kita untuk melakukan tindakan pengaman secara intensif. Baik itu dari pengrusakan maupun hal lainnya seperti kemungkinan kebakaran hutan," ujar Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Kehutanan Peternakan dan Perikanan setempat, Rusdiyanto.
Tindakan pengamanan dilakukan dengan mensiagakan seluruh petugas Polisi Hutan (Polhut) dan petugas Dishutbun lainnya. Patroli dan kegiatan pemantauan hutan dilakukan secara berkala, terlebih ketika menjelang dan di saat kemarau yang berpotensi besar terjadinya kebakaran hutan.
"Selain berpatroli, juga dilakukan pemetaan terhadap titik-titik rawan kebakaran," katanya.
Di HST, terdapat tiga kawasan hutan yang merupakan titik rawan kebakaran, yaitu di Batang Alai Timur (BAT), Hantakan dan Haruyan.
Dengan jumlah petugas Polhut yang hanya berjumlah tujuh orang, sangat menyulitkan melakukan pengawasan secara intensif. Karena itulah, sejak 2008 lalu Dishutnakan setempat mencanangkan program pengamanan hutan berbasis masyarakat.
Dengan melibatkan masyarakat, pendekatan dan pemahaman yang diberikan bisa lebih mengena. Baik tentang penebangan, pemeliharaan, pencegahan maupun penanggulangan kebakaran hutan.
Selain itu, informasi tentang adanya kemungkinan kebakaran hutan dapat dengan segera diketahui, karena pengawasan dilakukan langsung oleh masyarakat setempat.
Penggunaan tekhnologi modern juga dilakukan dalam upaya pengamanan kawasan hutan dari bahaya kebakaran. Untuk itu, telah dilakukan koordinasi dengan pihak provinsi sehingga secara rutin Dishutnakan HST menerima laporan hasil pencitraan NOAA atau satelit pendekteksi panas bumi.
"Namun yang seringkali terjadi, titik panas yang terdeteksi oleh NOAA berada di Areal Penggunaan Lain (APL) seperti daerah lebak dan bukan di kawasan hutan," Rusdiyanto menambahkan.
Satelit NOAA, memiliki sifat menangkap panas bumi. Sehingga meski panas itu bukan karena adanya kebakaran, dapat terpantau. Berpatokan pada data NOAA, petugas Dishutbun setempat dapat dengan cepat melakukan pemeriksaan dan langkah antisipasi.
Saat siang hari, NOAA akan mendeteksi panas pada ambang temperatur 42 derajat Celcius. Sedang malam hari, satelit itu mampu mendeteksi panas pada ambang temperatur 37 derajat Celcius.
Pembakaran hutan
Di HST, kawasan hutan sebagian besar di huni oleh masyarakat adat Dayak Meratus. Kelompok masyarakat itu biasanya melakukan aktivitas pembakaran hutan dalam rangka pembukaan lahan pertanian. Kemungkinan terbakarnya hutan akibat aktivitas itu diakui mungkin saja dapat terjadi.
"Hal tersebut berhubungan dengan budaya sehingga kita tidak mungkin dapat menghilangkannya dengan serta merta. Namun diperlukan langkah bijak untuk paling tidak mengantisipasi kemungkinan meluasnya pembakaran itu," katanya.
Kepada masyarakat diimbau agar sedapat mungkin menghindari pembakaran hutan saat pembukaan lahan. Hal tersebut dilakukan melalui Kepala Adat setempat, petugas Polhut dan petugas dari kemitraan masyarakat.
Bukan hanya himbauan, namun telah pula dilakukan sosialisasi Undang-Undang tentang pembakaran yang tertuang dalam pasal 187 KUHP. Ancaman yang dikenakan Undang-Undang tersebut bagi pembakar hutan adalah kurungan penjara selama 12 sampai 20 tahun dan denda maksimal Rp10 Miliar.
Namun bila pembakaran lahan tidak bisa dihindari, maka diimbau agar dilakukan dengan sebijaksana mungkin. Dan masyarakat adat Dayak Meratus, dipercaya mampu melakukan kebijaksanaan itu melalui kearifan lokal mereka.
"Hutan adalah bagian dari lingkaran kehidupan komunitas masyarakat adat Dayak Meratus. Karena itulah, meskipun ada aktivitas pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, hal itu tidak dilakukan pada sembarang kawasan," ujar Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade.
Masyarakat adat Dayak Meratus, setiap Balai Adat yang ada di HST masing-masing memberlakukan kawasan "katuan (hutan) larangan" yang tidak boleh digunakan untuk "bahuma' (berhuma). Di kawasan itu, dipastikan tidak akan pernah ada aktivitas pembakaran lahan.
Kawasan "katuan larangan", terletak di gunung-gunung pada ketinggian di atas 700 meter dari permukaan laut dengan luasan lebih dari 5.000 hektar. Katuan larangan merupakan daerah perlindungan, selain bagi tumbuhan dan hewan didalamnya, juga sebagai daerah penyedia sumber air.
Masyarakat adat Dayak Meratus juga memberlakukan kawasan katuan karamat (hutan keramat) dengan luasn sekitar 30 hektar lebih. Dikawasan tersebut, juga tidak boleh ada aktivitas apapun, selain untuk pemakaman bagi leluhur. Seperti juga kawasan "katuan larangan", di kawasan itu mustahil dilakukan pembakaran lahan.
Pembakaran lahan hanya dilakukan masyarakat adat Dayak Meratus pada kawasan hutan dengan ketinggian 700 meter, dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk menghindari gangguan babi hutan. Aktivitas itu biasanya hanya dilakukan antara Juni hingga Agustus saja.
Proses pembakaran lahan, dilakukan dengan sangat hati-hati. Memperhatikan berbagai aspek seperti arah angin, cuaca, hari baik dan terlebih dahulu dilakukan pemujaan terhadap Dewa penguasa api. Selain itu, di sekitar areal pembakaran dibuat kawasan bebas minimal 4 meter.
"Kedudukan hutan sebagai nafas kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus, berbanding lurus dengan kesadaran mereka untuk menjaga dan melestarikannya. Hutan menjadi landasan ideologi, sosial dan sumber penunjang perekonomian," kata Juliade.
Hutan dalam kehidupan masyarakat adat dayak Meratus adalah satu kesatuan yang saling memberikan perlindungan. Karena itulah, khususnya di HST, belum pernah ada terdengar kebakaran hutan akibat aktivitas pembukaan lahan masyarakat adat.
Sedikit menengok ke belakang, sekitar abad ke-19 London dan beberapa kota industri mengalami masalah kabut asap yang disebabkan oleh pembakaran batu bara untuk pemanasan rumah dan proses industri. Hingga akhirnya memunculkan istilah "Smog" yang berasal dari kata smoke (asap) dan fog (kabut).
Berkaca pada peristiwa tersebut, kabut asap bisa saja terjadi bukan karena pembakaran atau terbakarnya hutan.
Data Perusahaan
Dalam kasus pembakaran hutan, ada fakta menarik yang disampaikan Walhi sekitar 2006 lalu. Walhi menyerahkan data 178 perusahaan yang telah melakukan pembakaran hutan ke Mabes Polri.
Dari jumlah tersebut, 70 perusahaan diantaranya berada di Kalimantan, termasuk empat perusahaan bermodal asing dari Malaysia. Namun ada kalanya pihak perusahaan berkelit dengan mengatakan kebakaran tersebut merupakan rembetan dari pembakaran lahan masyarakat.
Dalam konteks, ini dapat di lihat bahwa pembakaran hutan bukan hanya dilakukan oleh masyarakat adat yang menurut anggapan sebagian orang merupakan masyarakat tertinggal. Tapi juga dilakukan oleh pihak perusahaan yang nota bene di kelola oleh orang-orang pintar.
Menyoal kemungkinan terbakarnya hutan akibat ulah masyarakat adat melalui aktivitas pembukaan lahan mereka, khususnya di HST, agak sulit dijadikan pembenar.
"Bila memang asap akibat dari pembakaran hutan oleh masyarakat adat Dayak Meratus, mengapa baru terjadi sekarang? Padahal pembukaan lahan dengan cara membakar hutan telah dilakukan oleh nenek moyang kami sejak ratusan tahun yang lalu," ujar tokoh masyarakat adat Dayak Meratus, Mido Basmi.
Menurut Rusdiyanto, kecil kemungkinan kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas pembukaan lahan oleh masyarakat adat Dayak Meratus. Namun terbakarnya hutan mungkin saja terjadi saat kemarau ekstrim yang mengakibatkan panas bumi meningkat.
"Gesekan dahan dan ranting kering saat cuaca sangat panas sangat mungkin menimbulkan percikan api. Namun dengan kesiagaan dan peran serta masyarakat setempat, kami siap mengatasinya," katanya.
Kemungkinan kebakaran hutan dalam skala besar, bisa saja terjadi di HST. Mengingat faktor alam juga berperan dalam hal ini, meski telah dilakukan langkah bijaksana oleh masyarakat adat setempat.
Bila kebakaran hutan dalam skala besar terjadi, akan sangat sulit mengatasinya mengingat keterbatasan tenaga dan peralatan yang dimiliki.
Namun melalui langkah-langkah pencegahan yang telah dilakukan, setidaknya dapat meminimalisir kemungkinan tersebut.
"Untungnya, upaya pengamanan hutan di HST sejalan dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Sehingga upaya tersebut relatif lebih mudah dilakukan. Bagaimanapun juga, kita harus berterimakasih pada masyarakat adat Dayak Meratus yang ikut berperan menjaga kelestarian paru-paru Kalsel," tambah Rusdiyanto.
Lipsus - MENJAGA PARU-PARU KALSEL Oleh: Rusmanadi
Senin, 1 November 2010 8:12 WIB